Bitcoin Sebagai Aset Digital?

Awal pekan ini, melalui sejumlah media massa nasional, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Kementerian Perdagangan Republik Indonesia kembali menegaskan bahwa Bitcoin dan kripto lainnya dapat digolongkan sebagai digital asset (aset digital). Kata Bappebti, mereka sedang menggodok aturannya bersama pelaku kripto dan OJK.

Pandangan itu sebenarnya mengulang kembali pernyataan badan yang bertanggungjawab langsung kepada Menteri Perdagangan itu, bahwa Bitcoin bukanlah alat pembayaran yang sah (legal tender). Yang sah sebagai alat pembayaran barang dan jasa di Indonesia itu adalah hanya rupiah (berwujud/bermedium uang kertas, logam, kartu kredit, kartu debit, transaksi elektronis). Ini sekaligus menegaskan pernyataan BI soal legal tender itu di konteks yang serupa.

Dengan kata lain, Anda tidak diperkenankan menjual secangkir kopi di kafe menggunakan uang dolar Amerika. Tetapi Anda dapat memperdagangkan uang itu di pasar valas alias foreign exchanges. Sama halnya Anda dapat melakukan jual beli Bitcoin atau Ether. Dalam hal ini, uang dan Bitcoin adalah sebentuk aset, karena memiliki nilai dan harga.

Mari kita menelaah secara nomenklatur antara kata “aset” dan “digital”, sebab ini menyangkut hal utama, yakni wujud alias penampakannya. Yang disebut aset adalah segala sesuatu yang dianggap bernilai (value) dan dapat dikonversikan menjadi uang (cash). Aset dikategorikan menjadi dua, yakni tangible asset (aset terlihat alias fisik) dan intangible asset (berwujud abstrak/virtual/digital).

Sebelum lebih jauh lagi, kita telaah dulu soal perbedaan antara nilai (value) dan harga (price). Di blog juga telah dibahas sebelumnya. Singkatnya, nilai adalah apa yang sepadan yang bisa kita dapatkan ketika membeli barang atau jasa. Sedangkan harga adalah sesuatu yang kita berikan yang kita dapat terbeban ketika membeli barang atau jasa.

Jadi, sebuah rumah adalah sebentuk aset yang terlihat (tangible asset) yang secara fisik tak hanya bisa dilihat tetapi bisa diraba. Ia disebut aset bernilai, karena ia dapat ditukarkan atau sepadan dengan sejumlah uang tertentu. Jika Anda membeli rumah berikut tanahnya seharga 500 juta, maka nilainya mungkin lebih daripada itu di masa yang akan datang, sesuatu yang abstrak yang belum terjadi, tetapi pasti akan ada. Ketika di masa depan aset itu Anda jual kepada pihak lain, maka nilainya bertambah, yang direpresentasikan oleh uang yang Anda peroleh dari sang pembeli.

Sedangkan digital, sebagaimana yang bisa Anda pahami adalah segala sesuatu yang tak berwujud fisik, hasil proses komputasi dan disimpan secara elektronis. Mari kita kembalikan ke contoh rumah tersebut. Mungkin Anda memiliki sejumlah foto rumah itu menggunakan ponsel Anda. Ketika tersimpan di ponsel, maka ia berwujud digital secara visual melalui medium perangkat elektronik.

Nah, pertanyaannya adalah apakah rumah yang sebelumya disebut aset dan kemudian difoto secara digital dapat juga disebutkan sebagai aset digital? Jawabannya, ya dan tidak jikalau dilihat secara historis.

Dengan jawaban ya, jikalau memang foto digital itu dianggap bernilai atau punya harga di rentang waktu tertentu, baik secara terpisah dengan rumah fisik tersebut atau satu kesatuan yang terpisahkan. Nah, jikalau foto tersebut bisa dianggap bernilai, maka harus ada aspek pengelolaan terhadapnya. Inilah yang disebut sebagai Digital Asset Management (DAM).

Digital Asset Management (DAM) adalah sebuah proses digitalisasi semua hal berwujud fisik ke dalam wujud digital dan disimpan secara elektronis.  Di sini kata kuncinya lebih ke pengelolaan (merencanakan, membagi tugas, melaksanakan dan mengawasi). Ini dapat dilakukan dengan menggunakan peranti lunak khusus.

Tetapi dalam perkembangannya, beberapa sumber mengungkapkan, yang disebut aset digital adalah semua yang bernilai dan dimiliki, tetapi tidak memiliki wujud fisiknya.

Merujuk informasi dari Simplicable.com, aset digital terdiri atas: Pertama, Pengetahuan (knowledge), seperti dokumen, buku, website dan media (lagu, video).

Kedua, Peranti lunak (software) dalam bentuk kode program dan layanan. Ketiga, Data, informasi dalam pangkalan data (database) dan informasi yang tak berstruktur (unstructured).

Keempat, Rancangan (Designs) seperti gambar arsitektural dan desain visual. Kelima, Paten dan Rahasia Dagang (Patents & Trade Secrets) rincian penemuan yang terdokumentasi secara digital.

Keenam, Seni (art), karya visual atau bernilai artistik seperti fotografi dan lukisan yang telah didigitalkan. Ketujuh, Musik. Kedelapan, Hiburan dan musik seperti film, dan medium lainnya seperti berita dan konten edukasi. Kesembilan, Addresses, seperti nama domain sebuah website. Kesepuluh, Virtual Property, lokasi, benda dan karakter di dunia virtual, dan Kesebelas, digital currency, mata uang elektronik seperti cryptocurrency (mata uang kripto).

Jadi, apakah Bitcoin dapat dikategorikan sebagai aset digital? Jikalau kita menggunakan hal di atas sebagai model sekaligus pendekatan, maka Bitcoin secara definitif adalah aset digital. Tapi ini harus dilihat secara menyeluruh, bukan parsial.

Pertama, wujud asalnya adalah peranti lunak (protocol) yang berisikan kode-kode program. Dan Bitcoin memang memiliki itu. Wujud bitcoin adalah murni digital/virtual/abstrak/maya/semu.

Kedua, Bitcoin dapat dikonversikan menjadi uang dolar atau rupiah (fiat money), karena dalam pertambangan Bitcoin melibatkan pembelian sejumlah peranti keras yang tidak murah termasuk biaya listriknya. Ini dengan asumsi, toko penjual GPU dan perusahaan negara penyedia listrik hanya menerima yang fiat buka uang digital.

Ketiga, Bitcoin memiliki unit atau satuan yang terukur alias ada batasan jumlah. Dalam Bitcoin, setiap 10 menit (per block) ada 12,5 Bitcoin baru yang muncul sebagai imbalan (reward) kepada para penambang berdasarkan kekuatan komputasinya. Dan setiap empat tahun sekali, reward itu berkurang setengahnya, menjadi 6,25 dan seterusnya hingga capaian maksimal Bitcoin mencapai 21 juta unit dari yang sekarang baru 17 juta lebih unit. Di sini pula termaktub makna scarcity (tingkat kelangkaan) dan tidak semua orang bisa mendapatkannya. Anda mungkin menyadari bahwa Bitcoin mensimulasikan proses penambangan dan karakter emas. Ya, Anda tidak salah. Bahkan emas sendiri adalah sebentuk aset berharga.

Nah, Bappebti pun tak lupa menyematkan pesan bahwa, kemungkinan besar, Bitcoin sebagai aset digital dapat diperdagangkan di bursa berjangka komoditi. Artinya, subjek Bitcoin setara dengan emas, coklat, minyak sawit dan sejumlah jenis komoditi berbentuk fisik lainnya (energi, logam, pertanian).

Jikalau Bitcoin masuk sebagai aset digital yang bisa diperdagangkan di pasar/bursa berjangka komoditi, maka ada aspek lindung nilai di dalamnya.

Ingat, komodii bisa diperdagangkan di pasar secara daring (online) dengan harga spot (real-time) maupun futures (berjangka). Namun demikian, kebanyakan komoditi saat ini diperjualbelikan dalam bentuk futures, di mana yang diperdagangkan bukan komoditi itu sendiri, melainkan sebuah kontrak untuk membeli atau menjualnya pada tingkat harga tertentu pada suatu waktu di masa depan sesuai dengan tanggal tertera.

Masalahnya, hal ini membuka peluang fluktuasi pasar yang besar akibat spekulasi, tetapi di sisi lain juga menawarkan kesempatan bagi investor yang mau mengarungi volatilitas pasar demi keuntungan yang menggiurkan.

Nah, sampai di sini Anda bisa membayangkan sendiri, di pasar spot sendiri seperti di exchange atau bursa kripto biasa harga Bitcoin terlihat volatil, apalagi ketika Bitcoin masuk ke pasar berjangka.

Jadi, kita masih menantikan regulasi yang dimaksudkan oleh Bappebti itu. Kapan? []

 

Be the first to write a comment.

Your feedback