Makhluk Millenial, Makhluk Kripto

Bagi kalangan awam, tanggal 31 Oktober 2018 tidaklah istimewa. Harap maklum. Tetapi, bagi kaum millenial, khususnya yang tahu dan kenal Bitcoin, tanggal itu tak ubahnya perayaan tumbuhnya ideologi baru berskala global.

Satu dekade silam, pukul 18:10 GMT di website mailing list, metzdowd.com, sebuah akun pengguna yang menamakan dirinya Satoshi Nakamoto mengumumkan telah menerbitkan whitepaper Bitcoin. Bisa diunduh di bitcoin.org, 9 halaman whitepaper itu sangat kental karakter akademiknya. Whitepaper itu diberi judul: “Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System”. Secara harfiah judul itu berarti: “Bitcoin: Sistem Uang Elektronik Peer-to-peer”.

Istilah peer-to-peer itu teramat penting sebagai gagasan terunggulnya. Di bagian awal abstrak Satoshi menulis: A purely peer-to-peer version of electronic cash would allow online payments to be sent directly from one party to another without going through a financial institution. Kalau diterjemahkan seperti ini: Uang elektronik berbasis peer-to-peer murni yanng memungkinkan pembayaran daring dilakukan secara langsung dari satu ke pihak yang lain tanpa melalui lembaga keuangan.

Mengapa Satoshi katakan “peer-to-peer murni?” Sebab terapan sistem peer-to-peer sudah pernah ada sebelumnya, tetapi tidak murni alias sentralistik. Dalam khasanah teknologi jaringan komputer, peer-to-peer (P2P) adalah model jaringan komputer yang terdiri dari dua atau beberapa komputer (node/simpul), di mana setiap komputer yang terdapat di dalam lingkungan jaringan tersebut bisa saling berbagi data dan sumber daya.

Jaringan peer-to-peer pertama kali diluncurkan dan dipopulerkan oleh aplikasi-aplikasi “berbagi-berkas” (file sharing) seperti Napster (sudah tutup), KaZaA, Bittorent dan banyak lagi. Pada konteks ini teknologi P2P memungkinkan para pengguna untuk berbagi, mencari dan mengunduh berkas.

Dalam jaringan ini tidak ada komputer yang berfungsi khusus, semua komputer dapat berfungsi sebagai klien dan server secara bersamaan. Pengguna masing-masing komputer bertanggung jawab terhadap administrasi sumber daya komputer, seperti membuat nama pengguna, menentukan yang akan dibagi, menandai izin akses bagian share tersebut, dan yang lainnya.

Permasalahan yang muncul adalah kenyataannya jaringan P2P seperti Napster masih dikontrol oleh satu entitas tertentu, yakni perusahaan Napster sendiri, sehingga semangat demokratis dan peluang terjadinya fraud sangat besar.

Dari situlah Satoshi beranjak membuat Bitcoin, tetapi diterapkan pada sistem uang dan transfer uang, di mana data transaksi disebarkan ke semua simpul jaringan. Sang penjaga simpul (miner) kemudian diberikan imbalan berupa Bitcoin. Disebut P2P murni, karena Satoshi sendiri terbukti bukanlah entitas yang mengontrol secara sentral jaringan Bitcoin. Semua kekuasaan didistribusikan kepada semua pihak yang terlibat di dalam jaringan, karena memiliki data transaksi serupa alias identik, bahkan tidak dapat diubah alias permanen.

Satoshi menggunakan jaringan P2P sebagai solusi atas masalah double spending, yang secara singkat berarti masalah “penggandaan uang” yang bisa terjadi ketika atau setelah transaksi dilakukan. Dalam uang fisik, ini ibarat memastikan nomor seri uang kertas tidak ada yang serupa. Semua proses itu direkam secara kronologis ke dalam block yang saling terkait dan diamankan menggunakan metode kriptografi tingkat tinggi.

Membingungkan? Haruslah. Karena maksud dari paparan di atas adalah untuk menyuguhkan perubahan sejarak yang berbeda dengan masa sebelumnya, ketika kaum millenial saat ini bertambah banyak. Mereka doyan internet dan mengerti kemudahan, termasuk belanja dan menggunakan uangnya. Makhluk millenial emoh antre di bank hanya untuk mentransfer duit rupiah satu juta.

Mainan kaum millenial adalah uang elektronik murni seperti Bitcoin dan uang kripto sejenisnya. Bahwa mengirimkan email dan pesan WhatsApp adalah mudah, maka mengirimkan uang haruslah lebih mudah, murah dan aman daripada sebelumnya. Teknologi komputer membuktikan itu, dan kaum millenial diberikan hak menganutnya. Bahwa ada kegaduhan dalam prosesnya, Bitcoin akan tetap bersama kita. Bahwa Satoshi mungkin adalah seorang atau sekelompok tua tak millenial, tetapi semangatnya sudah pasti millenial.

Perhatikan fakta ini: Menurut riset Coinbase, mahasiswa di Amerika Serikat (AS) menuntut lebih banyak mata kuliah tentang kripto dan teknologi blockchain. Demikian sorotan penting dari hasil survei Coinbase terhadap 675 mahasiswa, yang dirilis kemarin. Dilansir dari Coindesk.com, dari survei tersebut  terungkap 21 dari 50 universitas popular di AS saat ini menawarkan mata kuliah tentang teknologi blockchain atau kripto, dan setidaknya 11 perguruan tinggi menawarkan lebih dari satu. Bahkan, 18 persen responden mengaku menyimpan kripto.

Kemudian hasil survei teranyar oleh Clovr mengungkapkan dari 100 responden warga AS, 51,6 persen di antaranya ingin menangguk keuntungan dari investasi kripto dan 42,6 persen meyakini masa depan kripto akan cerah. Dari 1000 responden itu 59 persen kalangan millenial mengatakan tidak berinvestasi di kripto, sisanya mengatakan ya. Rasionya sangat tipis, dan kemungkinan angkanya berbeda di masa depan, seiring dengan pertumbuhan bisnis blockchain dan kripto yang lebih positif. Dibandingkan dengan Generasi X dan Baby Boomers, yang menyatak tidak berinvestasi kripto jelas lebih banyak, yakni masing-masing 76 persen dan 82 persen.

Khusus tanggapan pemuda AS itu menandakan perubahan sangat mendasar atas alam pikir mereka terhadap dunia uang dan investasi dan respon positif terhadap teknologi terkini. Kelak kaum millenial mendominasi dan memilih jalannya sendiri. Sebagian mungkin anarki, tetapi sebagian lagi mungkin bersikap konservatif meminjam sedikit ideologi generasi sebelumnya. Maka, langkah pentingnya adalah regulasi, yang mungkin kaum anarkis melanggarnya, di mana aturannya justru dibuat oleh kaum millenial konservatif.

Be the first to write a comment.

Your feedback