Wajah Baru Pemilu Berkat Blockchain

Awal bulan lalu, Partai Demokrat di Thailand memutuskan menggunakan teknologi blockchain Zcoin dalam memilih pemimpin baru partai terbesar di negara itu. Dan hasilnya memuaskan, pihak-pihak yang terlibat merasa akurasinya sangat tinggi dan dapat dipercaya. Itulah penggunaan blockchain bagi kebutuhan pemilihan suara untuk kesekian kalinya. Sebelumnya banyak penerapannya, di antara di Sierra Leone pada Maret 2018. Hal yang sama juga diselenggarakan di West Virginia di Amerika Serikat pada Mei 2018.

Nah, blockchain memang tergolong baru sebagai teknologi pengamanan dan distribusi data digital. Tetapi di atas kertas dan sebagian fakta empiris memang membuktikan keandalannya, khususnya soal keamanan dan efisiensi berbanding teknologi yang ada sekarang. Di atas itu semua kepercayaan adalah modal utama blockchain. Apa saja dampak konkretnya di masa depan?

Meningkatkan partisipasi pemilih

Saat ini metode pemilihan suara tergolong konvensional. Mayoritas negara masih menggunakan teknik pencoblosan kertas di masing-masing TPS. Artinya pemilihan suara masih mengandalkan kehadiran langsung para partisipan. Beberapa negara di Eropa yang berpopulasi kecil sudah melakukan sistem e-voting, seperti di Estonia. Tetapi berbeda cerita kalau di negara yang cenderung heterogen dan berjumlah banyak. Di Estonia memungkinkan memberikan suara melalui perangkat elektronik seperti ponsel dan komputer. Dengan kata lain Anda tidak harus datang ke TPS ketika hari H.

Tetapi, kalau kita hadapkan dengan perilaku budaya manusia saat ini memang kertas adalah andalan dalam pemilu, padahal kaum milenial saat ini lebih doyan pakai ponsel dalam beraktivitas. Bagi mereka, adalah ketidaknyamanan langsung datang ke TPS. Ini ibarat mengantri di bank hanya untuk mengirimkan beberapa ratus ribu rupiah. Jelas tidak praktis.

Di Amerika Serikat sendiri adalah 45 persen pemilih yang tak menggunakan hak suaranya dalam pemilu. Dengan asumsi kemudahan metode pemungutan suara tanpa ke TPS, maka memungkinkan jumlah pemilih akan naik. Ini mungkin berlaku  di negara lain.

Terkait dengan kepraktisan itu, bagi pemilik hak suara yang kebetulan adalah penyandang disabilitas (semisal cacat tidak bisa berjalan), dapat menghindari antrean di TPS. Mereka cukup menggunakan ponsel di rumah untuk melakukan voting.

Bagaimana warga negara yang tinggal di luar negeri? Ya, sama saja. Mereka tak perlu berbondong-bondong ke ke Kantor Konjen atau Dubes hanya untuk mencucuk kertas itu.

Hemat uang dan waktu

Saat ini Anda pasti menemukan sejumlah institusi yang mewajibkan Anda menyetorkan uang secara tunai ke bank. Entah apa di benak mereka, ini jelas memberikan beban kepada penyetor. Padahal duit yang disetor tak sampai satu juta rupiah, tetapi mengantrinya di teller bisa lebih 30 menit ketika jam sibuk. Belum lagi pergi pulang ke dan dari bank. Tidakkah kita masih menganut waktu adalah uang? Sebagai sebuah permintaan, hemat uang dan waktu adalah kewajiban lembaga. Ini juga sebuah nilai tambah.

Akurasi

Soal akurasi juga diperaturuhkan dalam sistem pemilihan suara elektronik. Mengingat teknologi blockchain hampir mustahil diretas karena bersifat permanen (terima kasih kepada sistem algoritma asimertris plus sistem jaringan peer-to-peer), maka hasil suara tidak dapat diubah dan terekam selamanya di dalam sistem. Peretas yang ingin mengubah datanya, maka harus punya sumber daya teknologi yang melebihi blockchain itu sendiri. Lagipula ia perlu mengubah data yang sama di setiap komputer berbeda yang saling terkoneksi. Itu sangat mustahil terjadi. Dengan menggunakan sistem sentralistik, maka ini sangat mudah diretas dan hasil suara bisa dimanipulasi.

Teknologi blockchain memang masih baru, tetapi karena ia memadukan teknologi lawas dengan teknologi baru, sangat memungkinkan teknologi blockchain memberikan warna baru terhadap teknologi pemilihan suara di masa depan. Ini perkara membangun kepercayaan politik dan melintasi wajah kebudayaan yang berbeda.

Be the first to write a comment.

Your feedback