Apakah ICO Perlu Diatur?
Di sebuah grup Telegram kita kerap menemui perdebatan hangat soal apakah Initial Coin Offerings (ICO) perlu diatur, dibuat semacam aturan khusus? Beberapa wacana dari satu pihak lebih memilih tidak perlu aturan khusus. Mareka beralasan, karena pada tahun 2013, jauh sebelum ekosistem kripto Indonesia sebesar ini, sebuah bursa kripto bisa berdiri dan beroperasi. Kami pikir pola pikir itu terlampau deterministik, seraya meminggirkan beragam kemungkinan penyimpangan yang mungkin terjadi di lapangan.
Mengingat sangat mudahnya membuat token dalam skema ICO, yang banyak muncul adalah proyek ICO yang tidak jelas juntrungannya. Anda hanya perlu kurang dari 30 menit untuk membuat sebuah token baru. Hanya bermodal whitepaper ala kadarnya (tak ada produk nyatanya(, penyelenggara ICO hanya ingin mendulang dana dari publik. Setelah itu tidak ada pengembangan sama sekali, lalu tutup. ICO memang meniru crowd funding serupa dengan Kickstarter. Tetapi jauh berbeda, karena di Kickstarter, purwarupa produk lebih terlihat jelas, daripada ICO yang hanya tergambar di whitepaper.
Di soal pertama ini, yang ideal adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Thailand. Mereka memiliki regulasi bahwa proyek ICO harus disaring dulu, mulai dari pengulasan whitepaper, mekanisme distribusi, penjualan hingga metode lock up untuk menjaga harga pasar. Oleh Thailand ini akan dimulai pada bulan ini. Tentu ada peran negara di sini atas nama perlindungan publik yang tidak banyak memahami soal ICO. Belum lagi harus jelas posisi hukumnya. Di Indonesia sejumlah pihak dikatakan Bitcoin cs adalah jenis aset digital baru yang perannya bukanlah sebagai legal tender. Tetapi itu tidak tertulis dan belum menjadi aturan jelas, khususnya yang ingin dikeluarkan oleh Bappebti (tetapi dalam kategori komoditi-yang semakin tidak jelas).
Ketika Bank Indonesia katakan Bitcoin cs bukan sebagai alat pembayara yang sah di Indonesia, tetapi Presiden Republik Indonesia, secara kelembagaan kesannya mendukung itu. Lihat berita di website resmi Presiden Jokowi, ada Noorcoin yang disebut karya anak bangsa, padahal badan hukumnya ada Singapura. Memang pengelolanya warga Indonesia dan aset itu akan digunakan secara global oleh negara-negara anggota OKI. Berita soal aset itu dibungkus dalam wacana Revolusi Industri 4.0, yang mana roadmap untuk Indonesia juga belum kelar-kelar.
“Selain untuk transaksi, tujuan utamanya adalah mengurangi dominasi Dollar Amerika Serikat. Noorcoin, mata uang digital Islam pertama di dunia, dapat digunakan untuk layanan Umrah dan Haji, juga untuk transaksi antar negara. Keunggulan Noorcoin adalah lebih transparan, aman dan biaya rendah menghemat sampai 90 persen,” jelas Osamh dalam berita di website presiden itu.
Apakah itu sinyal dari presiden secara kelembagaan tentang akan adanya legalisasi kripto sebagai alat pembayaran? Kita tidak tahu, karena ada banyak kemungkinan, termasuk Presiden juga tidak mungkin tak paham konstelasi kripto di Tanah Air.
Kita dapat memahami pihak-pihak yang mengatakan tidak perlu aturan soal kripto dan ICO di tanah air. Biarkan saja dulu, asalkan tidak ada unsur pidana. Nah, justru ketika pengguna kripto dan bursa kripto semakin ramai peluang terjadi penyimpangan akan sangat besar, karena ini bicara masalah duit yang tidak kecil nantinya. Lihatlah itu bisnis peer-to-peer lending. Kendati sudah legal saja, masih ada penyimpangan. Konon lagi ilegal.
Dalam konteks bisnis teknologi keuangan kita memang punya sandbox regulatory alias aturan ujicoba, yang bilamana ada penyimpangan, pasal yang dikenakan menggunakan hukum dan aturan yang sudah ada. Kalau misalnya ada unsur pidana, maka bisa dikenakan adalah dari KUHP. Nah, bagaimana kita membuktikan di pengadilan bahwa ICO dan kripto adalah aktivitas penipuan, kalau klasifikasinya saja masih blur? Sampai sekarang belum ada legal opinion dari pengacara ternama soal kripto apakah sebagai aset digital, komoditi atau sejenis sekuritas selayak saham?
Jadi, pilihannya ada dua, yakni apakah menggunakan skema self regulation seperti di Jepang atau regulation by state seperti di Thailand? Dua-dua akan banyak menguntungkan citra pebisnis kripto yang memang jujur dan serius menjalankan bisnisnya. Tanpa regulasi, pebisnis kripto yang jujur bisa kena getahnya juga, karena ketika ada penyimpangan di lapangan, orang lain bisa menafsirkannya sama dengan pelaku lain yang gemar menipu.
Pilihan pertama seperti di Jepang, relatif desentralistik, karena kebijakan diserahkan kepada komunitas pelakunya. Kalau di Thailand tentu sangat sentralistik, karena peran negara bentuk kerajaan relatif melindungi negara atas nama konstitusi. Tetapi kedua-dua ada peran negara di dalamnya, karena self regulation perlu ada persetujuan dari sejumlah kelembagaan pemerintah, tanpa membuat undang-undang baru. Jadi, cukup dikeluarkan aturan khusus bersama oleh beberapa lembaga terkait. []