Perbedaan Krisis, Resesi Teknikal, Resesi dan Depresi
Ekonomi gonjang-ganjing, katanya sedang krisis dan resesi. Tapi, bagi sebagian besar dari kita cukup sulit membedakan antara krisis, resesi teknikal, resesi dan depresi ekonomi. Simak artikel ini!
Pada 5 Agustus 2020, Badan Pusat Statistik (BPS), mengatakan bahwa ekonomi Indonesia selama kuartal II (April-Juni) 2020 terkontraksi alias minus 5,32 persen dibandingkan kuartal yang sama pada tahun 2019 alias year-on-year.
Itu menjadi yang terendah sejak kuartal I tahun 1999, yaitu minus 6,13 persen. Data Agustus 2020 itulah menjadikan Indonesia secara resmi masuk fase resesi teknikal, belum masuk ke jurang resesi seperti di negara lain, seperti Singapura, Filipina, Jepang dan lain sebagainya.
Lantas apa perbedaan antara krisis, resesi teknikal, resesi dan depresi ekonomi?
Yang disebut krisis ekonomi adalah ketika terjadi penurunan ekonomi atau kontraksi, sehingga menjadi negatif dalam satu kuartal (periode triwulanan/tiga bulan) atau dalam satu tahun.
Tetapi, ketika terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi dalam dua kuartal berturut-turut (6 bulan), itu masih disebut sebagai resesi teknikal. Ini yang sedan dialami oleh Indonesia.
Kalau penurunannya adalah negatif atau di bawah nol persen, seperti yang terjadi pada kuartal II 2020 di Indonesia, maka belum bisa disebut sebagai resesi, karena baru terjadi pada satu kuartal saja.
Namun jika terjadi menjadi dua kuartal, misalnya kuartal II dan kuartal III sama-sama negatif, maka disebut sebagai fase resesi.
Apabila resesi ini berlanjut selama dua tahun atau lebih, maka disebut sebagai depresi. Ini pernah terjadi melanda dunia pada tahun 1930-1933, yang berpangkal dari pasar modal di Amerika Serikat (AS).
Akhir kuartal ketiga tahun ini adalah September, yang dimulai sejak Juli lalu. Ini adalah penentuan apakah nanti kita masuk ke status resesi. Banyak pihak memprakirakan Indonesia pasti masuk ke status itu, karena pertumbuhan masih akan negatif, walaupun tak sebesar itu.
Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Provinsi DKI kepada Liputan 6 mengatakan, masih di bawah minus 4, sekitar -1 atau 2. Ini yang diproyeksikan akan menjadi positif pada kuartal IV. Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto pun berpendapat serupa.
Kita tentu berharap Indonesia tidak akan jatuh ke jurang resesi, kendati fakta di lapangan mungkin kian berbeda dan kita rasakan sendiri.
Ketika resesi akan banyak terjadi pemutusan hubungan kerja. Kemungkinan bagi pekerja yang memiliki kontrak jangka pendek, tidak akan diperpanjang.
Siap-siap saja dirumahkan dan beralih peran sebagai pengangguran, karena perusahaan tidak sanggup lagi menggaji, akibat daya beli masyarakat terhadap produk mereka menurun.
Lihat saja perusahaan Sampoerna sudah merumahkan lebih dari 7 ribu karyawannya, sejak Januari-Agustus 2020.
Dari sudut pandang perusahaan itu adalah logis, karena perusahaan harus bergerak seefisien mungkin agar perusahan tidak bangkrut.
Jadi, peluang besar Indonesia masuk ke resesi, maka kita harus mempersiapkan diri dengan strategi investasi yang baik dan tepat.
Emas dan Bitcoin misalnya disarankan diakumulasi sekarang juga. [red]