Bitcoin Cs Bukan Hendak Musnahkan Peran Bank
“Sangat sulit mendapatkan merchant yang cukup banyak yang mau menerima DigiCash. Padahal itu yang mendorong agar semakin banyak konsumen yang menggunakannya juga,” kata David Chaum kepada Forbes pada 1 November 1999. Kata Chaum lagi, “Ketika teknologi web berkembang, tingkat kecanggihan pengguna pun turun. Sangat sulit menjelaskan kepada mereka tentang makna penting privasi.”
Bagi Anda yang tumbuh besar di era 1980-an, mungkin kenal David Chaum dengan uang elektroniknya, E-cash melalui perusahaan yang ia dirikan bernama DigiCash. Di era “dot com bubble” itu, banyak perusahaan di seluruh dunia membuat website dengan segala macam produk yang dijual, atau yang hari ini kita kenal sebagai e-commerce.
Alasan kebangkrutan DigiCash sangat masuk akal, karena memang di masa itu, dunia belum siap soal e-commerce itu. Penyebabnya tentu saja soal penetrasi Internet yang tak seluas saat ini dengan jumlah ponsel cerdas yang sudah mencapai miliaran unit. Faktor kepercayaan publik terhadap website juga belum sebesar saat ini. Di masa itu perusahan dotcom laris manis sebagai gimmick marketing. Tak jarang pula banyak melakukan penipuan.
Di antara faktor itu, sistem pembayaran memegang peran sangat sentral. Tetapi ketika ekosistem merchant dan toko dan sebagainya belum siap, maka sistem pembayaran tidak dapat larut lebih dalam. Dalam satu metafora: Apa guna menjual es krim di kala musim dingin.
Hari ini sangat berbeda, khususnya sejak tahun 2008 dengan beragam pertimbangan soal kemunculan kripto Bitcoin sebagai sistem pembayaran sekaligus medium pembayaran. Pertama, situasi keuangan global lebih mudah tergelincir ke krisis, ketika pemerintah sebuah negara tidak awas terhadap pelaku keuangan, khususnya bank. Ada celah abuse of power yang dideteksi sangat lamban. Banyak kecurangan soal peringkat investasi dan lain-lain.
Kedua, uang fiat yang memang tidak memiliki underlying asset sejak 1970-an cenderung inflatif dalam rentang waktu tertentu, termasuk dolar AS. Negara-negara lain berpatokan pada uang Paman Sam ini. Alhasil, gejolak dalam negeri AS turut memengaruhi suasana pasar internasional. Uang fiat tak lebih layaknya produk barang sekaligus jasa, karena nilainya murni berlandaskan tarik menarik antara permintaan dan penawaran.
Ketiga, fakta serius bahwa kecepatan internet dan keragaman informasi adalah tuntutan masyarakat modern. Ini diikuti denan produksi ponsel cerdas dalam skala yang masif hingga ke pelosok daerah. Walaupun belakangan diketahui ponsel yang cerdas tidak selaras dengan kecerdasan penggunanya, khususnya soal mencerna informasi.
Menarik tolak ukuran DigiCash di tahun lampau itu, kripto sebagai medium pembayaran kini sedang masuk ke gerbang kemerdekaannya. Karena, saat ini laju e-commerce sangat kencang yang dipimpin oleh Alibaba, E-Bay. Di Indonesia sendiri ada Tokopedia dan Bukalapak yang masuk dalam kategori unicorn. Di sudut lain ada sejumlah startup yang melaju denga sistem pembayaran online, walaupun masih berpatokan rupiah.
Disrupsi teknologi informasi tak hanya menerabas peran perbankan. Bitcoin dengan teknologi blockchain misalnya, bukan bermaksud menggunduli cuan-nya bank, tetapi hanya mengurangi atau mengambil porsinya sebagian. Alih-alih bank tutup, bank hanya perlu melakukan langkah kecil dengan mengadopsi kripto dan blockchain di sistem mereka. Mengapa? Ya efisiensi! Murah, cepat, hemat.
Ripple misalnya sudah membuktikan itu bersama 40 kliennya. Dengan Ripple, biaya per transfer untuk duit setara 20 juta rupiah, tak sampai 0,09 rupiah dan sampai seketika di tujuan. Ini mirip dengan sistem RTGS di perbankan modern, yang juga menggunakan Internet. Bandingkan itu transfer lintas bank lintas negara saat ini. Lagipula perlu waktu 3-5 hari (jikalau bank berbeda).
Dengan blockchain, masalah double spending pada uang elektronik telah mampu ditiadakan, sesuatu yang tidak ada di era DigiCash.
Namun demikian antisipasi lebih lanjut, perkembangan blockchain sebenarnya masih hijau, perlu perbaikan di sana sini. Belum lagi menghadapi kenyataan bahwa perangkat pengguna yang masih sentralistik, sangat rawan diretas. Masalah lainnya adalah interoperabilitas, mengingat ada banyak sistem blockchain yang beragam, tetapi belum bisa diintegrasikan secara utuh.
Maka, di masa depan, ponsel berbasis blockchain murni diharapkan ada, tidak sekadar menyimpan aset digital kripto di dalamnya. Sistem operasi yang dikendalikan secara daring pun mesti disimpan di blockchain, sembari memastikan privasi masih menjadi usungan yang maha penting.