Demi “Stabilitas” Negeri Tiongkok
Apapun ceritanya, Tiongkok bermain drama yang secara jelas bikin gamang komunitas kripto dengan kebijakannya terhadap isu-isu terkait blockchain-kripto. Dengan jargon lebih aneh: “blockchain bukanlah bitcoin”, praktik kripto di negeri itu dibatasi.
Padahal bagi pegiat kripto, apalah arti blockchain tanpa Bitcoin, jikalau ingin menggunakan pendekatan “asal muasal”. Bahwa yang disebut oleh Satoshi Nakamoto, Bitcoin adalah sebuah sistem uang elektronik peer-to-peer, yang mencakup sebagai sistem transfer sekaligus “pengiriman nilainya”. Satu hal yang disebut bitcoin (dengan huruf b kecil) adalah entitas imbalan (jasa) bagi pihak-pihak yang menjaga keutuhan dan memvalidasi transaksi di dalam jaringan Bitcoin. Yang terakhir ini lazim disebut miner. Perlu juga disebut di sini, Nakamoto secara semantik tidak menulis “blockchain” tetapi “block-chain”, sesuatu penggunaan istilah yang kelihatannya serupa, tapi syarat taktik gramatikal.
Namun demikian, seperti Anda tahu selanjutnya, jargon blockchain (tanpa tanda baca dash itu) kian popular, termasuk Tiongkok secara umum. Itulah sebabnya tak heran, Alibaba (perusahaan raksasa dari negeri itu) selama kurun waktu beberapa tahun terakhir, telah membuat hak patent blockchain hingga 90 buah. Bank Sentralnya juga tak mau ketinggalan.
Di dalam website resmi Partai Komunis China ada juga dipaparkan pandangan mereka soal teknologi blockchain, mulai dari soal fitur, penggunaan nyata hingga beragam tantangan yang mungkin dihadapi. Oleh Bank Sentral pun telah mengujicobakan platform sistem keuangan perdagangan yang terintegrasi dengan sejumlah bank, yang diharapkan mampu memperluas pengaruh yuan/renminbi di pasar global. Ini sangatlah beralasan, karena dengan blockchain-lah transfer uang dapat dilakukan lebih cepat dibandingkan dengan cara tradisional yang melalui beberapa bank.
Di saat yang hampir bersamaan Pengadilan Tinggi China pun telah mengeluarkan seperangkat aturan yang menyatakan bahwa teknologi blockchain disetujui sebagai metode menyimpan dan mengotensifikasi bukti digital. Bank of China pun secara agresif mengembangkan teknologi keuangan berbasis blockchain.
Di Tiongkok, sejak September tahun 2017 memang gencar melarang lalu menutup sejumlah exchange dan praktik ICO di negara itu. Selama kurang lebih 12 bulan, lebih dari 90 exchange lokal dipaksa menghentikan operasionalnya. Akibatnya banyak yang hijrah ke Hong Kong, Eropa dan ke Singapura. Kini 100 bursa kripto daring dari luar negeri pun diblokir, sehingga tidak dapat diakses di dalam negeri. Bahkan, beberapa kanal perbincangan terkait kripto, ditutup di WeChat. Tetapi, itu bukan berarti pengembangan teknologi blockchain oleh sejumlah pihak swasta dilarang. Di sinilah letak keanehannya. Blockchain saat ini, hampir mustahil tidak meletakkan entitas token atau coin di dalam blockchain. Karena itu tadi, sebagai aspek imbalan.
Titik terpenting di sini adalah, apa yang disebut blockchain di Tiongkok, selama tidak megganggu otoritas pemerintah, silahkan berjalan, jangan utak-atik entitas itu yang mungkin akan menghambat pertumbuhan ekonomi negara. Singkat kata, Tiongkok mengharapkan stabilitas penuh, menghilangkan hiruk pikuk (sesuatu gerak-gerik yang sebenarnya biasa saja di negeri Tembok Raksasa itu). [vins]