Emas Lemas, Dolar Tergerus, Bitcoin Dibeli Terus?

Memahami sebab musabab penguatan harga Bitcoin hingga lebih dari US$28 ribu atau setara dengan US$400 juta, memang kerap membingungkan. Tetapi ada penjelasan masuk akal soal itu, sehingga “memaksa” perusahaan besar membeli Bitcoin secara terus menerus.

Dulu sebelum Bitcoin ada, di kala krisis ekonomi, emas menjadi incaran masyarakat agar nilai uangnya tidak tergerus. Tahun ini, ketika krisis ekonomi terdampak pandemi, Bitcoin jadi incaran, emas malah lemas.

Banyak pakar ekonomi dan keuangan di luar sana yang juga bingung, apalagi Anda orang biasa. Apa penyebab peralihan besar-besaran ini?

Konteks Ekonomi Global
Kita harus memahami konteksnya terlebih dahulu, bahwa panggung ekonomi global modern saat ini, setiap negara terhubung satu sama lain, diperkuat dengan teknologi informasi. Perdagangan antar negara sangat terbuka.

Perdagangan antar negara, seperti yang kita pahami bersama, masih menggunakan dolar AS sebagai mata uang standar. Ketika sebuah perusahaan dalam negeri ingin mengekspor dan mengimpor barang dolar AS tetap digunakan.

Dalam hal itu, ketika nilai tukar alias kurs mata uang negara lain terhadap dolar AS menguat, maka belanja import akan semakin mahal dan secara otomatis harga barang itu menjadi lebih tinggi.

Sebaliknya, dalam ekspor lebih menguntungkan, karena nilai dolar yang didapatkan lebih tinggi daripada biasanya.

Sialnya bagi negara-negara tertentu yang masih bergantung pada barang-barang import, warga negara itu harus punya uang lebih banyak lagi untuk bisa membelinya, terlebih-lebih barang-barang yang masih masuk kategori bahan baku utama yang masih terkait dengan kebutuhan pokok.

Inti konteks ini adalah semua negara sangat bergantung pada lonjakan nilai uang dolar AS di pasar global.

Dalam Krisis
Nah, ketika krisis ekonomi terjadi, ada kalanya nilai dolar AS itu justru melemah. Itu yang secara otomatis membuat proyek-proyek investasi milik negara lain ataupun perusahaan di luar negeri yang bersatuan dolar, menjadi berkurang nilainya.

Lantas apa yang membuat nilai dolar AS melemah? Dalam konteks krisis ekonomi global hari ini, ketika produksi barang dan jasa menurun, aktivitas konsumsi melemah, maka cara paling masuk akal yang dilakukan oleh Bank Sentral AS, misalnya adalah menggelontorkan lebih banyak yang dolar lagi ke ekonomi.

Ini adalah cara agar ekonomi tidak ambruk lebih dalam, sembari merangsang ekonomi pelan-pelan menjadi normal kembali.

Ingat hukum ekonomi paling alami yang kita kenal, bahwa semakin banyak uang yang beredar, maka nilai uang itu praktis berkurang.

Pelemahan Dolar
Lantas, seberapa lemahnya dolar AS saat ini? Salah satu indikator yang bisa digunakan adalah US Dollar Index (DXY). Indeks ini mengukur nilai tukar dolar AS, relatif terhadap mata besar lainnya, yakni euro, yen dan pound.

Semakin kecil angka indeksnya, maka itu mencerminkan meningkatkan nilai dolar AS secara global. Mari kita lihat DXY sepanjang tahun 2020 ini. Sejak 1 Januari 2020-30 Desember 2020, nilai dolar tergerus hingga minus 6,9 persen. Ingat minus ya, artinya di bawah nol (0).

Pelemahan dolar AS sepanjang tahun 2020.

Nilai indeks tertinggi tercatat sepanjang tahun ini adalah 6,66 persen pada 19 Maret 2020. Dari tanggal itu terus menurun hingga hari ini. Jika rentang waktu itu kita perluas, sejak tahun 1985 nilai dolar AS sudah tergerus minus 28 persen!

Pelemahan dolar AS sejak tahun 1985.

Pelemahan ini tentu saja berjalan perlahan-lahan dengan peristiwa guncangan ekonomi di antaranya, hingga kita merasakan nilai uang kita di kantong berkurang, walaupun jumlahnya bertambah.

Maka tidaklah heran ketika Agustus 2020, harga emas untuk kali pertama menembus harga tertinggi sepanjang masa. Pasar panik dan memilih mengamankan nilai uangnya. Namun, sejurus kemudian harga emas malah anjlok.

Banyak pihak memprakirakan anjloknya harga emas, karena banyak bank sentral justru menjual sebagian cadangan emasnya guna sebagai modal mencetak dolar lebih banyak lagi.

Namun, bertambahnya jumlah pasokan emas itu, tidak dibarengi lagi dengan permintaannya. Penawaran terlalu melimpah.

Pasokan Dolar Bertambah
Salah satu cara untuk mengukur pertambahan pasokan dolar adalah melihat grafik neraca keuangan Bank Sentral AS alias The Fed.

Per 16 Desember 2020, neraca The Fed sudah mencapai US$7,2 triliun. Lonjakan amat besar dimulai terjadi sekitar Maret 2020 dari kisaran lebih dari US$4 triliun. Bandingkan dengan beberapa bulan sebelum akhir tahun 2019, neracanya jauh di bawah US$4 triliun.

Lonjakan neraca Bank Sentral AS.

Neraca keuangan bank sentral sekaligus mencerminkan pasokan dolar AS yang bertambah. Karena memang itu yang dilakukan oleh The Fed. Salah satu caranya adalah dengan membeli surat utang pemerintah (goverment bond). Ini dilakukan agar kondisi keuangan pemerintah tetap baik, karena surat utang adalah salah satu pendapatan negara, selain dari pajak, yang dimana juga tergerus.

Lantas berapa banyak pasokan dolar baru itu? Salah satu caranya adalah dengan melihat grafik M1 Money Supply. Pasokan Uang M1 mencerminkan jumlah uang yang beredar di pasar, termasuk uang dolar yang berada di bank.

Per November 2020 Pasokan Uang M1 adalah US$6.048,20 miliar, naik cukup tinggi dibandingkan Oktober 2020, yakni US$5.579,90 miliar. Dan jangan Anda terkejut jika dibandingkan Januari 2020, hanya US$3.976 miliar. Jadi sudah naik lebih dari 100 persen! Sejak Maret 2020, ketika pandemi diumumkan oleh WHO, meningkat hingga 50 persen!

Peningkatan drastis uang dolar AS sepanjanng tahun 2020.

Kepercayaan
Karena uang bisa diperjualbelikan, maka ketika pasokan uang bertambah, tingkat kepercayaan terhadap uang itu berkurang, karena nilainya tergerus.

Dalam hal itu, kepercayaan alias trust dialihkan kepada objek yang bernilai lebih tinggi. Salah satunya adalah emas dan Bitcoin.

Emas memang dianggap ampuh menjaga nilai uang kita, tetapi tidak ketika Bitcoin hadir yang pasokannya jauh lebih langka daripada emas. Lagipula data pasokan Bitcoin jauh lebih transparan, terbuka, siapa saja bisa mengaksesnya. Seberapa langka jumlah emas pun tak pasti.

Lihat harga emas selama tahun 2020, hanya kuat 23 persen. Harganya anjlok sejak 6 Agustus 2020, ketika mencetak rekor tertinggi baru sepanjang masa. Sedangkan Bitcoin sepanjang tahun ini sudah mencetak imbal hasil lebih dari 300 persen!

Lonjakan harga emas hanya 23 persen sepanjang tahun 2020.
Lonjakan harga Bitcoin sepanjang tahun 2020, lebih dari 300 persen, jauh melampaui harga emas.

Jelas-jelas ini fenomena langka dan terjadi kali pertama sepanjang peradaban manusia. Ini membuktikan Bitcoin sebagai aset langka pendatang baru baru benar-benar berhasil mengalahkan sentimen warga dunia terhadap emas.

Ke depan, ketika Bitcoin sudah masuk lebih ke rekor harga tertingginya, ini sudah cukup memantik keyakinan pasar untuk terus mengakumulasi Bitcoin.

Toh, jauh sebelum ada pandemi ini pun ekonomi global sudah diramalkan akan ambruk, karena tak mampu lagi menahan gejolak ketidakadilan dari negara-negara super power. Ekonomi dunia sangat rapuh sebenarnya. Lihatnya dampak krisis 2008 saja masih terasa dan belum benar-benar pulih.

Jadi, pandemi yang merontokkan ekonomi pada prinsipnya adalah penegas kerapuhan itu, sekaligus menelanjangi bulat-bulat soal betapa buruknya manusia mengelola uang. Karakter korup dan pembohongan publik mungkin adalah akar penyebabnya.

Pandemi dan distribusi vaksin juga penuh ketidakpastian, ditambah munculnya varian virus baru yang jauh lebih ganas. Pun lagi pasca pandemi di tahun-tahun mendatang, pembenahan ekonomi masih terlampau sulit.

Dalam ketidakpastian, bukankah kita mencari aset yang lebih pasti agar nilai uang kita tak tergerus inflasi? [***]

Comments are closed for this post.