Harga XRP Runtuh 50 Persen, Sejumlah Bursa Enggan Perdagangkan
Buntut SEC menuntut perusahaan Ripple yang menerbitkan aset kripto XRP, harganya anjlok tak terbendung hingga 50 persen dalam sepekan terakhir. Sejumlah bursa pun enggan memperdagangkannya lagi. Bagaimana dengan bursa lain?
Seperti yang kami tulis di blog kami sebelumnya, tuntutan SEC Amerika Serikat terhadap Ripple berdampak cukup serius terhadap aset kripto secara umum.
Sejumlah aset kripto besar, termasuk Bitcoin masih dilanda si Jago Merah. Demikian pula Ether. XRP sebagai aset kripto 5 besar berdasarkan kapitalisasi pasarnya harus rela masuk jurang di harga Rp3.900 per 24 Desember 2020 pukul 20:43 WIB, berdasarkan data di Coinmarketcap.
Dalam 24 jam terakhir XRP luluh lebih dari 20 persen dan selama sepekan lebih dari 50 persen.
Kasus ini mengkawatirkan banyak pihak, tak soal harga, tetapi akan berbuntut sejumlah bursa akan menghentikan perdagangan XRP itu alias delisted.
Forbes menyebutkan, sejumlah bursa kecil sudah memutuskan men-delist XRP, yakni OSL, Beaxy and CrossTower. Kendati masih bersifat sementara, itu sudah mencerminkan sentimen yang sangat negatif.
Sementara itu bursa Coinbase yang bermarkas di AS yang terkenal patuh pada setiap peraturan di Negeri Paman Sam itu kemungkinan besar melakukan hal serupa. Bursa besar itu mengatakan akan menggunakan hak pilihnya, dilansir dari Forbes, 23 Desember 2020 lalu.
Sementara itu bursa besar lainnya, OKEX masih bersikap lunak, menunggu perkembangan lebih lanjut dan belum men-delisted XRP dari platform-nay, dilansir dari Coindesk.
Dampak serius lainnya adalah memaksa perusahaan Bitwise menjual cadangan XRP-nya. Tanpa menyebutkan jumlahnya, porsi XRP yang dijual mencapai 3,8 persen dari total aset kripto lain yang dimilikinya.
Di luar otoritas regulator AS, sejumlah besar bursa di seluruh dunia bisa-bisa saja “menurunkan XRP”, semata-mata karena nilainya akan tergerus karena tidak mencerminkan likuiditas yang “normal”.
Kabar tuntutan SEC terhadap perusahaan Ripple mulai marak berdengung mulai pekan lalu.
Kabar itu disampaikan langsung oleh pendiri Ripple, Brad Garlinghouse. Katanya, SEC memutuskan bahwa aset kripto XRP melanggar peraturan dan masuk kategori sekuritas. Sedangkan Ripple sendiri bukanlah perusahaan sekuritas, melainkan fintech.
Ripple pada dasarnya mempertanyakan motif SEC, mengapa baru sekarang disebutkan XRP bukanlah aset sekaligus mata uang yang dapat ditransaksikan seperti aset kripto lainnya. Padahal sejak tahun 2012 XRP dianggap normal seperti pada transaksi ETH dan lain sebagainya.
SEC beralasan bahwa XRP masuk dalam kategori sekuritas (saham) di mana perusahaan Ripple mengumpulkan dana dari publik dan digunakan oleh pendiri dan pejabat tinggi Ripple untuk mendapatkan keuntungan. Bahkan ada sentralisasi kepemilikan.
Jelang pergantian Ketua SEC AS yang baru, lembaga negara yang mengawasi bidang keuangan di Negeri Paman Sam itu menggugat perusahaan Ripple karena melanggar aturan soal sekuritas. Pasar bergumam, apakah aset kripto XRP bakal delisted alias ditarik dari bursa aset kripto di AS?
Sebenarnya duduk perkara ini sudah sangat lama dan berpangkal pada carut marutnya pengkategorian aset kripto di Amerika Serikat, apakah benar sebagai aset, mata uang (currency) atau sekuritas (modal)? Klasifikasinya kurang rigid.
Pada prinsipnya, di AS oleh SEC aset kripto disebut sebagai digital asset (aset digital-objek digital yang bernilai). Karena dia sebagai aset, maka ia layak pula dikategorikan sebagai komoditas, selayaknya emas dan minyak, sehingga bisa diperdagangkan di bursa berjangka (futures market).
Selain sebagai komoditas, karena sifat aset kripto bisa ditransaksikan antar pihak dalam jaringan khusus dan sebagai sebagai medium/alat pembayaran barang dan jasa, maka ia bisa disebut pula sebagai mata uang (currency).
Dalam hal ini, karena berasaskan kriptografi, maka disebutlah sebagai mata uang kripto alias cryptocurrency. Inilah yang memungkinkan PayPal memunculkan layanan jual-beli barang di merchant tertentu menggunakan aset kripto, kendati “lisensi gerak PayPal itu” berdasarkan aturan keuangan di negara bagian New York.
Soal sebagai “aset” dan “currency” juga diakui oleh lembaga FinCEN yang bernaung di bawah Kementerian Keuangan AS.
Hanya saja SEC melihat sejumlah sisi berbeda soal XRP dibandingkan aset kripto lain, seperti Bitcoin dan ETH.
SEC melihat XRP sebagai “objek bernilai” yang dikendalikan oleh perusahaan yang nyata dan terdaftar secara hukum di AS.
Ripple menerbitkan “objek bernilai” itu dan pendiri dan pemilik perusahaan mendapatkan keuntungan darinya, karena menyimpan sebagian besar dari XRP itu. Ada unsur konsentrasi kepemilikan objek bernilai di sini.
SEC menyebut itu sebagai “sekuritas” alias “dana dari publik untuk modal perusahaan”. Saham oleh perusahaan yang diperdagangkan di bursa efek melalui broker misalnya adalah bentuk dari sekuritas. XRP ada kemiripan seperti saham, menurut SEC.
Sejauh ini, kita tak tahu pasti kapan Ripple menggugat balik SEC dan argumen apa saja yang bisa mementahkan kekuatan SEC di pasar AS. Akankah XRP tetap sebagai sekuritas atau aset? [***]