Indonesia Resesi, PHK Besar Bakal Terjadi, Investasi?

Per 6 November 2020 lalu, Indonesia resmi mengalami resesi, karena kinerja pertumbuhan ekonomi yang selama 2 kuartal berturut-turut mengalami kontraksi alias minus. Kondisi ini sudah lama diprediksi setelah pandemi global dimulai. PHK besar pun diprediksi bakal terjadi. KADIN sendiri sudah angkat bicara di media: “Pengusaha harus kurangi tenaga kerja”. Lantas apa strategi kita dalam berinvestasi?

Kontraksi itu terjadi pada kuartal ke-2 dan ke-3 tahun 2020, yakni April-Juni (-5,32 persen) dan Juli-September (-3,49). Bandingkan pada Januari-Maret (2,97 persen). Data itu berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Perhatikan apa kata BPS lagi, jumlah pengangguran periode Agustus 2020 mengalami peningkatan sebanyak 2,67 juta orang.

Dengan demikian, jumlah angkatan kerja di Indonesia yang menganggur menjadi sebesar 9,77 juta orang.

Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan pandemi virus corona (Covid-19) membuat tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia mengalami kenaikan dari 5,23 persen menjadi 7,07 persen.

“Sehingga dengan pandemi bisa dilihat tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Agustus 2020 mengalami kenaikan 5,23 persen menjadi 7,07 persen. Atau terjadi kenaikan sebesar 2,67 juta,” ujar Suhariyanto dilansir dari Kompas, Kamis (5/11/2020).

Secara sederhana, pertumbuhan ekonomi adalah adalah kemampuan dari suatu perekonomian, dalam hal ini ekonomi negara, dalam memroduksi barang dan jasa.

Dalam konteks ini, produksi barang dan jasa terhimpit, sehingga konsumsi mandek, terlebih-lebih komponen belanja pemerintah dan konsumsi rumah tangga, sebagai penyokong terbesar ekonomi bangsa ini.

Konsumsi yang berkurang berdampak pula pada inflasi, yakni naiknya harga bahan-bahan pokok dan tentu saja berkurangnya nilai mata uang yang disimpan oleh masyarakat.

Tak heran, potensi inflasi nasional yang lebih tinggi, yakni di atas 3 persen di masa-masa mendatang, mendorong sejumlah provinsi menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP), yang dimulai pada tahun 2021 mendatang. Tapi masalahnya adalah, jumlah uang memang bertambah di kantong Anda, tetapi tidak dengan nilainya.

Intinya, ini adalah masa-masa sulit yang memang harus dihadapi sebuah bangsa, bagian dari ekonomi global. Sebagian dari Anda yang muda, mungkin tak mengalami langsung krisis moneter tahun 1998 atau tahun 2008.

Jelas ini tak bisa dihindari, terlebih-lebih karena “alam” yang meminta ini terjadi.

Saran Investasi
Di beberapa segi, investasi akan sangat sulit bagi kalangan masyarakat yang berpenghasilan rendah, karena praktis mereka memprioritaskan dulu untuk kebutuhan dasar, yakni untuk makan, biaya sekolah dan hal lainnya. Tentu pembelian barang-barang mewah harus distop, apalagi hendak menambah utang.

Dalam konteks artikel ini, sebagaimana yang kami sampaikan di artikel lalu soal investasi, jikalau memang dana Anda berlebih, lakukanlah investasi di kala resesi ini. Jikalau memang tidak ada, lebih baik tunda dulu, prioritaskan yang paling penting terdahulu, yakni urusan perut.

Jadi, artikel ini akan lebih cocok bagi Anda yang memiliki dana lebih alias uang dingin yang siap Anda investasikan, agar nilai kekayaan Anda tidak berkurang, demi melawan inflasi dan keterpurukan.

Faedahnya, karena periodenya jangka panjang, akan Anda nikmati di kemudian hari, setelah pandemi ini pergi dan ekonomi kita pulih seperti sediakala.

Namun, mari kita segarkan dulu soal apa itu investasi. Secara umum investasi adalah investasi adalah menggunakan sejumlah uang atau menyimpan uang pada sesuatu, dengan harapan suatu saat mendapat keuntungan finansial. Inilah yang disebut aset bernilai lebih.

Contoh investasi yang umum adalah pembelian berupa aset keuangan seperti obligasi, saham dan asuransi (unit link).

Atau bisa juga membeli emas yang terbukti mantap menghalau inflasi dari generasi ke generasi.

Atau bisa juga memilih aset Bitcoin yang sejak awal tahun 2020 meningkat lebih dari 100 persen, jauh di atas pertumbuhan saham-saham di AS, termasuk emas sendiri.

Namun investasi, Anda harus pastikan soal prospeknya di masa depan, berdasarkan kinerjanya di masa lalu dan situasi terkini, karena kinerja masa lalu belum tentu sama dengan kinerja masa depan. Faktor situasi terkini harus Anda pertimbangkan, dalam hal ini adalah kontraksi ekonomi.

Investasi juga harus mempertimbangkan manfaatnya. Ini akan berbeda dan relatif antar individu, misalnya investasi yang bertujuan untuk menghindari inflasi, mempersiapkan biaya pernikahan, mempersiapkan biaya pendidikan anak, mempersiapkan dana pensiun dan mencapai kebebasan finansial.

Anda harus memilih salah satu atau beberapa dari manfaat dan tujuan investasi Anda, karena itu menentukan berapa lama Anda mengendapkan dana itu dan mencairkannya menjadi rupiah.

Nah, mari kita bandingkan saja ya. Lihat emas versus Bitcoin. Emas selama tahun ini, hanya mampu tumbuh 28,95 persen. Itu adalah nilai global.

Selama 3 bulan emas malah minus 3,79 persen. Sedangkan Bitcoin berkinerja sangat baik. Selama tahun 2020 Bitcoin tumbuh 115,57 persen dan selama 3 bulan sudah naik 30,27.

Meningkatnya permintaan terhadap Bitcoin tentu saja karena pasar mempersepsikan Bitcoin sebagai aset yang langka, berkarakter mirip seperti emas.

Pun lagi, jumlah unit Bitcoin yang beredar jauh lebih transparan daripada emas. Kelangkaan dan keunggulannya sebagai aset berwujud digital adalah faktor utama di balik pertumbuhan itu.

Tak heran, perusahaan publik di AS, seperti Square dan MicroStrategy berani berinvestasi di Bitcoin yang saat ini sudah bernilai triliunan rupiah. Dan mereka tak sendiri, kelak akan diikuti oleh pembeli besar Bitcoin lainnya. Ini hanya masalah waktu.

Peningkatan adopsi yang kokoh itu, sebenarnya sudah disadari oleh PayPal sejak 2010, hingga Oktober 2020 mereka memeluk erat Bitcoin dengan menghadirkan layanan jual-beli aset kripto di aplikasinya. Langkah PayPal pun dipuji sebagai faktor pemercepat adopsi Bitcoin secara global.

Seperti yang kami sampaikan sebelumnya, Bitcoin hari ini sangat berbeda dengan Bitcoin tahun 2017 silam. Pasar lebih dewasa, karena pasar belajar dari masa lalu dan belajar dari perusahaan-perusahaan yang menunjukkan rasa percaya dirinya.

Sejumlah analisis pun ada di depan mata yang siap meyakinkan Anda. Salah satunya adalah hasil kajian Bloomberg beberapa waktu lalu.

Menurut mereka, jikalau sejarah berulang seperti tahun 2015-2017, maka pada tahun 2021, harga Bitcoin bisa menyentuh lebih dari US$35 ribu per BTC.

Ya, kami tahu prediksi itu tampak menggemparkan atau mungkin too good to be true. Tapi, bukankah lebih bijaksana menyelamatkan nilai kekayaan Anda, karena Anda sebenarnya sudah menyadari tidak bisa mengabaikan kemerosotan ekonomi ini? [***]

Comments are closed for this post.