Kapan Bitcoin Dianggap sebagai Aset Safe Haven?
Bitcoin sebagai aset safe haven kian dipertanyakan, alih-alih mendapatkan tantangan, tatkala harga saham secara global meluruh. Benarkah Bitcoin sebagai aset yang melindungi nilai uang Anda?
Pertama, kita perlu pertajam terlebih dahulu, apa makna dasar “safe haven” itu. Kamus Oxford menyebutkan bahwa “safe haven” diartikan sebagai: “tempat perlindungan atau keamanan;
perlindungan sementara diberikan kepada orang atau kelompok yang dianiaya.”
Tentu ada perluasan makna soal itu dalam konteks keuangan dan investasi yang digunakan sejak lama, dengan esensi yang serupa, bahwa harus ada aset yang imbal hasilnya (untung) yang lebih tinggi daripada aset lainnya. Jadi, ketika nilai satu aset turun, aset lainnya dicari dan dibeli agar tidak rugi.
Misalnya begini, dan pasti Anda tahu dan rasakan juga. Ketika pertama kali virus Corona merebak di Amerika Serikat, harga saham anjlok, diikuti oleh harga minyak mentah.
Di saat yang bersamaan harga emas naik. Demikian pula ketika WHO mengatakan bahwa Corona masuk kategori pandemik. Darurat global! Dalam hal ini emas adalah aset safe haven, sebab banyak orang menjual sahamnya, lalu dialihkan ke emas.
Itu tak dianggap berisiko, walaupun untungnya sangat tipis. Itu lebih baik daripada mengendapkan duit di sektor saham yang terus turun.
Namun, ada saat-saat tertentu emas malah anjlok dan saham naik tipis. Misalnya, ketika Presiden Trump mengumumkan sejumlah langkah-langkah mengatasi penularan Corona di negaranya. Saham naik tipis dan emas turun.
Bahkan, yang terbaru kemarin, penegasan lebih lanjut dibuat oleh Amerika Serikat dengan memberikan santunan duit tunai kepada warga AS. Itu direspons positif juga oleh pasar saham, kendati sangat kecil.
Nah, bagaimana dengan Bitcoin? Uniknya, ada korelasi langsung antara pasar saham dan pasar aset kripto, khusus dengan Bitcoin yang berkapitalisasi pasar besar di dunia. Ketika saham menguat, Bitcoin ikut menguat. Ini sangat berbeda ketika virus Corona belum menyerang. Ketika itu kedua-duanya berbanding terbalik.
Hal itulah yang membuat pasar terhuyung-huyung, lantas bertanya bagaimana dengan anggapan bahwa Bitcoin adalah aset safe haven selayak dan bisa lebih besar daripada emas?
Begini penjelasannya. Bitcoin sebagai aset safe haven sejatinya sekadar tafsiran pada konteks dan waktu yang khusus. Bitcoin dianggap sebagai safe haven ketika belum ada virus Corona. Dan itu benar adanya, ketika saham turun, Bitcoin menguat. Demikian pula emas.
Padahal, sebenarnya Bitcoin belum pernah sama sekali melalui masa-masa kritis keuangan berskala global, walaupun Bitcoin lahir pada tahun 2008 silam, yang juga mirip dengan situasi saat ini.
Masalahnya pada tahun 2008, Bitcoin masih dikenal oleh segelintir orang dan belum banyak perusahaan yang masuk untuk memfasilitasinya. Di kala itu orang masih bertanya-tanya, bercampur antara yang skeptis dan berkeyakinan teguh.
Berbeda dengan saat ini. CME dan Bakkt misalnya membuat pasar turunan terhadap Bitcoin. Kedua perusahaan itu adalah korporasi raksasa yang ikut ambil untung terhadap Bitcoin yang pasarnya kecil, tapi dinamikanya menarik. Di sinilah Bitcoin sedang masa-masa tumbuh lebih dewasa.
Namun, di antara kedua waktu itu, memang benar Bitcoin mengalahkan aset lainnya, tapi tidak ketika krisis global seperti saat ini.
Pada tahun 2016 misalnya, ketika Brexit. Bitcoin naik mengalahkan emas, yen, dolar AS dan lain-lain. Bahkan sebelum Trump terpilih sebagai presiden, Bitcoin juga menjadi raja naik 17 persen. Sedangkan jenis investasi lain malah minus. Atau sebut saja, ketika AS membunuh Jenderal Iran, Bitcoin melesat.
Atau peristiwa yang sangat menarik adalah, ketika krisis utang Yunani pada tahun 2015. Ketika sebagian besar harga indeks saham dan mata uang ikut merosot, Bitcoin malah mampu cetak untung hingga 28 persen pada periode 20 April-10 Juli 2015. Sedangkan aset lainnya rata-rata minus 1,7 persen. Bitcoin hanya bersaing dengan poundsterling dengan raihan 4,1 persen.
Pada Agustus 2015-Desember 2016, Bank Sentral Tiongkok memutuskan memotong suku bunga acuannya sebesar 1,9 persen. Tapi investor pasar modal di negeri itu sudah keburu menjual aset-aset berisikonya.
Pada periode 20 Agustus 2015-20 Januari 2016, Bitcoin memberikan imbal hasil hingga 53 persen (10 Agustus-20 Januari 2016). Sedangkan kelas aset lainnya rata-rata minus 10 persen. Hingga Desember 2016 pula nilai mata uang yuan melemah hingga 11 persen terhadap dolar AS.
Yang mungkin sulit dilupakan adalah ketika perang dagang AS-Tiongkok. Ketegangan perang dagang Amerika Serikat-Tiongkok turut mendorong banyak orang membeli Bitcoin.
Sebenarnya ketegangan itu dimulai pada 2017, lalu dipertegas pada 5 Mei 2019, di mana Presiden Trump memerintahkan kenaikan bea masuk barang-barang impor dari Tiongkok dari 10 persen menjadi 25 persen. Hal itu mendorong kenaikan Bitcoin hingga memberikan imbal hasil hingga 47 persen pada periode 5 Mei-31 Mei 2019. Yen Jepang hanya memberikan 2,1 persen, sedangkan yang lainnya rata-rata minus 2 persen.
Jadi, dapat disimpulkan Bitcoin relatif bukanlah sebagai aset safe haven dalam situasi tertentu yang skalanya global, masif dan tak diduga seperti virus corona ini yang merata di seluruh dunia.
Bayangkan saja, hanya karena virus Corona-lah sistem ekonomi dunia ketar-ketir, sehingga memaksa Tiongkok menutup sebagian besar pabrik-pabriknya. Produksi barang terhambat dari Tiongkok untuk negara-negara lain. Dan itu tak terjadi ketika Brexit, Krisis Yunani dan Pilpres di AS.
Jadi, kita harus ekstra sabar, dan kita akan menyaksikan saham dan Bitcoin rebound dan bertanding di arena tanpa virus Corona. Hari ini adalah sebuah peluang. Semoga Tuhan memberkati kita semua. [*]