Ketika Perusahaan Besar Bidik Bitcoin sebagai Investasi
Perlahan tetapi pasti, Bitcoin semakin disadari sebagai aset berinvestasi. Buktinya, pada 11 Agustus 2020 lalu, perusahaan raksasa asal AS, MicroStrategy (Nasdaq: MSTR) telah membeli 21.454 Bitcoin senilai US$250 juta atau setara dengan Rp3,6 triliun. Perusahaan lain diprediksi mengikuti langkah itu.
“Investasi kami di Bitcoin adalah bagian dari strategi alokasi modal baru kami. Itu diharapkan memaksimalkan nilai jangka panjang bagi pemegang saham kami,” kata Michael J. Saylor CEO MicroStrategy.
Menurutnya, investasi ini mencerminkan keyakinan perusahaannya bahwa Bitcoin sebagai aset kripto yang paling banyak diadopsi di dunia, adalah penyimpan nilai yang dapat diandalkan dan aset investasi yang menarik dengan potensi apresiasi jangka panjang yang lebih banyak daripada menyimpan uang tunai.
“MicroStrategy akhirnya benar-benar mengakui Bitcoin sebagai aset investasi yang lebih unggul daripada uang tunai. Jadi Bitcoin kami gunakan sebagai strategi keuangan kami,” tegas Saylor.
Saylor mengakui perlu waktu berbulan-bulan sebelum mereka memutuskan membeli Bitcoin itu dengan modal yang tersedia.
Menurutnya, alasan utama di balik pembelian itu adalah faktor ekonomi makro yang berdampak pada kinerja perusahaan dan berisiko dalam jangka panjang.
“Faktor makro tersebut antara lain, krisis ekonomi dan kesehatan masyarakat yang dipicu oleh COVID-19, langkah-langkah stimulus keuangan pemerintah yang belum pernah terjadi sebelumnya, termasuk pelonggaran kuantitatif yang diterapkan di seluruh dunia, dan ketidakpastian politik dan ekonomi global.
Dipuja dan Kelak Ditiru oleh Bank Sentral
Tak lama setelah pengumuman itu, Anthony Pompliano Pendiri Morgan Creek Capital yang terkenal sebagai pembela Bitcoin, memuji langkah itu.
“MicroStrategy bukanlah satu-satunya perusahaan yang melakukan ini. Akhirnya, sebagian besar perusahaan akan menambahkan Bitcoin ke keuangan mereka. Mereka mungkin akan membeli dengan jumlah kecil dan terus menambahnya. Tren seperti itu mungkin akan memakan waktu, tetapi akan jadi sangat lazim, termasuk oleh bank sentral” kata Pomp di blog-nya.
Menurutnya, alasan di balik itu sederhana, yakni Bitcoin adalah jenis uang baru yang diciptakan untuk dunia digital.
Kelangkaan Bitcoin yang dapat dibuktikan, akan menyebabkan nilai dolar AS lebih tinggi.
“Lihatlah sekarang kapitalisasi pasar Bitcoin sudah lebih dari US$200 miliar hanya gara-gara investor kelas ritel,” jelas Pomp
Rothschild dan Bitcoin
Sebelumnya di blog ini kami mengungkap giat investasi Rothschild di saham Bitcoin, GBTC.
Rothschild Investment Corp ternyata kian giat berinvestasi di saham Bitcoin, GBTC. Berdasarkan data Fintel, perusahaan milik keluarga Rothschild itu memiliki ribuan saham GBTC yang bernilai Rp3,4 miliar.
Dengan harga terkini saham GBTC, yakni US$13 per lembar, maka nilai portofolio Rothschild mencapai Rp4,6 miliar.
Portofolio itu terbilang amat kecil dibandingkan portofolio oleh Ark Investment Management yang mencapai 2.840.675 lembar saham yang nilainya setara dengan US$20.226.000 per laporan terakhir, Juni 2020. Dengan harga saham GBTC saat ini US$13 per lembar, maka nilainya mencapai US$36.928.775.
GBTC adalah produk dari perusahaan investasi Grayscale berupa saham yang diperdagangkan di pasar modal tradisional. Harganya ditentukan oleh indeks khusus berdasarkan gerakan harga Bitcoin di pasar spot (fisik). Satu lembar saham setara dengan 0,00095775 Bitcoin (Data 9 Agustus 2020).
Produk investasi Grayscale setidaknya mampu membuktikan bahwa investor di pasar saham bisa “secara tidak langsung” berinvestasi di Bitcoin, tanpa memegang sendiri Bitcoin aslinya, melainkan lewat perantaraan saham sungguhan. [*]