Kisah “Efek Paul Tudor”, Bitcoin Naik Menjadi US$10 Ribu per BTC

Sulit mengingkari adanya efek Paul Tudor Jones, pengusaha kawakan asal Amerika Serikat terhadap kenaikan harga Bitcoin hingga mencapai US$10 ribu per BTC pada Jumat pagi, 8 Mei 2020 lalu. Siapa dia dan apa yang kelak dia lakukan terhadap Bitcoin? Akankan inflasi hebat melanda dunia?

Paul Tudor Jones adalah pendiri perusahaan investasi Tudor Investment Corporation. Pada Kamis, 7 Mei 2020 sebelum tengah malam, Bloomberg mengutip pernyataan dia. Secara singkat, dia bilang begini: “Saya bertaruh untuk membeli Bitcoin untuk melawan inflasi, yang mungkin datang akibat Bank Sentral AS yang menerbitkan banyak uang lagi ke dalam pasar.”

Pada malam itu juga harga Bitcoin langsung tergenjot naik cepat di atas US$9200, terkoreksi sedikit lalu pada pagi harinya naik ke US$10.000 (Rp150 juta), sebagai level psikologis seperti pada Februari 2020.

Ini adalah capaian yang sangat berarti, setelah ambruk pada 12-13 Maret 2020 lalu di level US$4 ribu-an. Apalagi ia tiba menjelang Bitcoin Halving yang diperkirakan akan jatuh pada 12 Mei 2020 nanti.

Pernyataan Paul yang dikutip oleh Bloomberg itu sebenarnya adalah pandangan singkat oleh Tudor kepada para klien dan investor perusahaannya. Dia menulis secara khusus kepada mereka, tentang strategi investasi perusahaan ke depan.

Tudor pun menjelaskan bahwa kebijakan pelonggaran kuantitatif oleh Bank Sentral AS sejak Maret 2020 lalu, betul-betul luar biasa. Terlalu banyak uang yang digelontorkan masuk ke ekonomi lewat kebijakan itu.

Paul mengatakan, sejak Februari 2020 saja ada sekitar, US$3,9 triliun uang baru di ekonomi oleh Bank Sentral AS (The Fed). Angka itu setara dengan 6,6 persen dari output ekonomi global.

Baginya, ada potensi inflasi yang mengancam AS di masa depan, dampak dari kebijakan itu, sehingga harus ada langkah-langkah antisipasi untuk melindungi kekayaan.

Inflasi bermakna nilai uang yang tereduksi, sebagai akibat dari banyaknya jumlah uang beredar, tetapi tidak diserap baik oleh pasar.

Kemudian dia bilang begini lagi di suratnya yang berjudul “The Great Monetary Inflation” itu: “Bitcoin mengingatkan saya pada emas ketika saya pertama kali masuk ke bisnis [investasi] ini pada tahun 1976. Strategi terbaik memaksimalkan laba adalah dengan memiliki kuda tercepat. Jika saya dipaksa untuk memperkirakan, taruhan saya adalah Bitcoin”.

Dia juga menekankan, bahwa Bitcoin adalah sebagai penyimpan nilai (store of value) dan layak menyandang 4 karakter utama: daya beli, kepercayaan, likuiditas dan portabilitas.

Apa yang dimaksudkan Paul, bahwa ia mengingat Bitcoin sama seperti emas pada tahun 1976 adalah karena pada tahun itulah, kali pertama emas masuk di pasar berjangka (futures). Kala itu Amerika Serikat sedang mengalami inflasi parah.

Demikian pula Bitcoin sejak tahun 2018 juga popular di pasar berjangka, seperti di CME, Bakkt dan lain sebagainya. Katanya, emas dulu juga begitu, setelah menikmati bullish hampir tiga kali lipat, harga emas kemudian terkoreksi hampir 50 persen selama dua tahun, lalu kemudian naik setelahnya hingga saat ini. Baginya, itu serupa dengan koreksi Bitcoin sebesar 80 persen selama 28 bulan sejak Desember 2017.

Secara praktik, pasar berjangka emas memang mampu menekan volatilitas harga emas secara global. Demikian pula yang terjadi terhadap volatilitas Bitcoin yang sejatinya menurun sejak tahun 2010 dan tertegaskan pada tahun 2018, ketika semakin banyak pasar berjangka Bitcoin.

Volatilitas yang tereduksi adalah faktor lain terhadap adopsi Bitcoin. Volatilitas yang kecil mendorong lebih banyak investor masuk ke dalam pasar, karena cenderung berisiko lebih kecil daripada sebelumnya. Inilah yang mendorong harga Bitcoin naik di kemudian hari.

Volatilitas Bitcoin terhadap dolar AS sejak tahun 2010 hingga tahun 2020 rata-rata 30 hari, yang cenderung menurun. Ini bermakna lonjakan naik-turun secara cepat sejatinya berkurang.

Penegasan volatilitas itu semakin nyata pada grafik harga antara emas tahun 1977 dengan grafik Bitcoin tahun 2020 ini. Berdasarkan grafik itu, harga emas naik ke puncak tertinggi sepanjang masa, setelah tahun 1977. Ini yang diperkirakan juga terjadi pada harga Bitcoin yang dimulai pada tahun 2020 ini, bahwa kita mungkin menyaksikan bull run, kenaikan masif harga Bitcoin.

Grafik perbandingan harga emas (tahun 1977) dan harga Bitcoin (2020). Emas terpantau mengalami bull run setelah tahun itu, melampaui harga pada tahun 1975. Harga Bitcoin diperkirakan mengalami hal serupa pada tahun 2020 ini.

Paul Tudor Jones bukanlah orang biasa di pasar saham dan investasi. Darah dan karirnya memang di sektor itu dan memang kaya dari situ.

Pada tahun 1980-an dia terkenal sedunia karena meramalkan keruntuhan pasar saham Amerika Serikat. Dan itu benar-benara terjadi pada tahun 1987, yang dikenal sebagai Black Monday. Dia berhasil cepat keluar dari pasar dan masuk kembali ke pasar saham, sehingga membukukukan keuntungan ratusan juga dolar kala itu.

Paul bisa memprediksi itu, karena dia mengenali ada pola serupa dengan kejatuhan pasar saham AS pada tahun 1929 yang menghantarkan negara itu pada Great Depression alias krisis super parah.

Sederhananya, Paul sedang memprediksi kembali dan mencoba meyakinkan dirinya dan orang lain, bahwa inflasi ataupun krisis ekonomi parah akan melanda AS dan dunia.

Dan dia memberitahu kita, kita perlu bersiap melawan inflasi dengan instrumen investasi yang tepat, yakni salah satunya adalah Bitcoin yang memiliki karakteristik kelangkaan seperti emas.

Tentu saja dia tak sedang mengatakan harus membeli Bitcoin saja, tetapi juga emas untuk melawan inflasi itu. Maka dia pun memprediksi bahwa harga emas bisa menembus US$2.400-6.700 per troy ons, jika kita kembali pada kondisi ekonomi ekstrem pada tahun 1980-an. Sedangkan harga emas saat ini US$1.712 per troy ons. [red]

Comments are closed for this post.