Konflik AS-Iran dan Bitcoin
Memang sulit setuju dengan pendapat ini: Harga Bitcoin naik gara-gara konflik AS-Iran, yakni pertama karenan pembunuhan Mayor Jenderal Iran Qasem Soleimani di Irak pada Jumat lalu dan kedua, aksi balasan Iran menyerang markas militer AS di Irak pada beberapa hari lalu.
Mungkin sebuah kebetulan, bahwa di masing-masing kedua momen yang berdekatan itu, harga Bitcoin naik sebesar 5 persen, sehingga sanggup membawa Bitcoin menembus level resisten US$8.000. Kenaikan itu menambah kenaikan Bitcoin selama 30 hari terakhir. Di saat yang sama, harga emas dan minyak mentah juga sama-sama melejit.
Marilah kita anggap itu tidak memiliki benang merah sama sekali. Tetapi, momen-momen berbau krisis adalah momen spekulatif yang digunakan oleh trader untuk menjajal keberuntungannya. Emas, yang pasokannya juga langka seperti Bitcoin misalnya, sempat naik 2 persen pada Jumat lalu dan minyak mentah naik 3 persen.
Nah, pagi ini kita melihat Bitcoin langsung anjlok hingga 3,77 persen. Termasuk emas, 0,75 persen dan minyak mentah. Spekulasi agak mulai mengendur sedikit, karena ketegangan AS-Iran mulai berkurang. Bisa jadi, karena korban nyawa tidak ada di pihak AS, selepas Iran menyerang markas militer AS di Irak. Dan mungkin karena “pidato lunak” presiden Trump malam tadi.
Pun, ada hadangan dari DPR AS yang dipimpin oleh Partai Demokrat yang berupaya menghalangi AS menyerang Iran kembali. Ini barangkali dianggap sebagai pengendur aksi spekulasi di perdagangan aset itu, kecuali jikalau terjadi sebaliknya.
Pun dalam Pidato Presiden Trump waktu malam tadi waktu setempat, menguatkan sinyal bahwa AS menarik diri dari peluang melakukan perang dengan Iran.
“Fakta bahwa kami mempunyai peralatan militer yang mumpuni, bukan berarti kami harus menggunakannya,” ujar Trump seperti dilansir dari Kompas. Dia menjelaskan bakal segera memberi sanksi tambahan di sektor ekonomi dan finansial, hingga rezim Teheran “mengubah perilakunya”.
Ini bermakna, konstelasi konflik mungkin bakal tidak melalui perang terbuka, tetapi melalui tambahan sanksi yang kian menambah inflasi di Iran.
“Amerika Serikat siap untuk mengumandangkan perdamaian dengan semua pihak yang menginginkannya,” jelas Trump dikutip CBS News.
Krisis Lain, Bitcoin Naik
Krisis lain yang menggenjot harga Bitcoin pernah juga terjadi sebelumnya, berdasarkan penelitian oleh Grayscale.
Pertama, Peristiwa ditutupnya semua bank di Yunani selama 3 minggu pada tahun 2015, gara-gara semakin banyak warga Yunani yang menarik uang secara tunai. Hal itu disebabkan Pemerintah Yunani gagal membayar utang luar negerinya, ditambah isu Yunani ingin keluar dari Uni Eropa. Kekacaubalauan terjadi hingga tiga bulan lamanya. Ketika sebagian besar harga indeks saham dan mata uang ikut merosot, Bitcoin malah mampu cetak untung hingga 28 persen pada periode 20 April-10 Juli 2015. Sedangkan aset lainnya rata-rata minus 1,7 persen. Bitcoin hanya bersaing dengan poundsterling dengan raihan 4,1 persen.
Kedua, Pada Agustus 2015-Desember 2016, Bank Sentral Tiongkok memutuskan memotong suku bunga acuannya sebesar 1,9 persen. Tapi investor pasar modal di negeri itu sudah keburu menjual aset-aset berisikonya. Pada periode 20 Agustus 2015-20 Januari 2016, Bitcoin memberikan imbal hasil hingga 53 persen (10 Agustus-20 Januari 2016). Sedangkan kelas aset lainnya rata-rata minus 10 persen. Hingga Desember 2016 pula nilai mata uang yuan melemah hingga 11 persen terhadap dolar AS. Inilah pendorong pembelian Bitcoin untuk melindungi nilai uangnya.
Ketiga, Pada 24 Juni 2016 Inggris membuat dunia terperanjat, ketika hasil referendum menunjukkan bahwa rakyat Inggris ingin terpisah dengan Uni Eropa (Brexit). Satu hari setelah pengumuman itu, harga poundsterling ambruk hingga minus 8,1 persen dan euro jatuh tak terbendung hingga minus 2,4 persen. Sementara itu Bitcoin bullish dengan imbal hasil hingga 7,1 persen. Bitcoin hanya bersaing ketat dengan Indeks harga emas COMEX, yakni 4,7 persen dan yen 3,9 persen. Hingga akhir tahun 2016, poundsterling dan euro terus melemah.
Keempat, September-Desember 2016 terjadi gonjang-ganjing politik seputar pemilihan Presiden Amerika Serikat plus situasi geopolitik global. Dua bulan sebelum pemilu presiden, suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS melebihi ekspektasi para pelaku pasar. Aksi jual saham dan aset berisiko tinggi lainnya pun tak terbendung. Pada periode 7 September 2016-10 November 2016 Bitcoin mampu memberikan imbal hasil hingga 17,2 persen. Di posisi kedua ditempati oleh Bloomberg Comodity Index 0,5 persen, selebihnya justru rata-rata minus 3,5 persen.
Kelima, Ketegangan perang dagang Amerika Serikat-Tiongkok turut mendorong banyak orang membeli Bitcoin. Sebenarnya ketegangan itu dimulai pada 2017, lalu dipertegas pada 5 Mei 2019, di mana Presiden Trump memerintahkan kenaikan bea masuk barang-barang impor dari Tiongkok dari 10 persen menjadi 25 persen. Hal itu mendorong kenaikan Bitcoin hingga memberikan imbal hasil hingga 47 persen pada periode 5 Mei-31 Mei 2019. Yen Jepang hanya memberikan 2,1 persen, sedangkan yang lainnya rata-rata minus 2 persen.
Grayscale menyimpulkan, kendati Bitcoin menguat, khususnya ketika terjadi devaluasi mata uang fiat, bukan berarti Bitcoin dapat disebutkan sebagai “investable asset“. Tetapi, fakta demikian menunjukkan Bitcoin sangat tangguh menghadapi situasi makro ekonomi yang melemah dan Bitcoin memberikan imbal hasil lebih tinggi berbanding jenis aset lain dan mata uang fiat lain. [*]