Mata Uang Digital, Bank Sentral Terus Terang untuk Terang Terus
Bank Sentral Jepang (BOJ) baru saja menunjuk seorang pakar ekonominya, Kazushige Kamiyama untuk memimpin departemen khusus guna meneliti lebih serius soal penerbitan mata uang digital bank sentral alias CBDC (Central Bank Digital Currency). Kelak akan hadir yen versi digital yang murni memanfaatkan teknologi blockchain, serupa dengan stablecoin USDT yang digunakan sejak tahun 2014.
Langkah BOJ itu tentu saja mengundang beragam tafsiran dari publik, khususnya tatkala ekonomi Jepang sedang terpuruk, serupa dengan negara lain akibat pandemi COVID-19.
Ada sejumlah spektrum pemikiran lain soal itu. Pertama, keunggulan teknologi blockchain sulit disangkal karena menawarkan efisisien dalam sistem pembayaran berskala global lintas negara.
Adalah masuk akal bagi bank sentral untuk memanfaatkan teknologi blockchain agar kebijakan moneternya lebih akurat ketika sistem ekonomi sedang lesu.
Itu satu hal yang tidak didukung oleh sistem teknologi keuangan saat ini, di mana untuk mengirimkan uang lintas negara melalui bank, perlu waktu beberapa hari dan relatif lebih mahal.
Dan blockchain, khususnya melalui stablecoin USDT (menggunakan blockchain Bitcoin dan Ethereum) sudah membuktikan efisiensi itu (hemat waktu dan biaya).
Kedua, Jepang sebagai negara ekonomi maju dan mata uang yen mereka digunakan sebagai mata yang cadangan devisa negara lain, termasuk Tiongkok, merasa perlu menjaga kedaulatan yen mereka di mata dunia.
Dengan efisiensi berkat teknologi, maka bisa dipastikan yen bisa mempertahankan pengaruhnya di ekonomi global.
Hanya dengan efisiensilah akan menunjang kemudahan perdagangan antar negara.
Bayangkan jikalau proses pembayaran ekspor-impor perlu waktu 3-5 hari kerja, maka CBDC berteknologi blockchain murni atau campuran, bisa menjadikannya lebih cepat, bahkan bisa instan.
Ketiga, Bersaing dengan bank sentral Tiongkok. Jepang mungkin terlalu lamban masuk ke wilayah penerbitan yen digital dalam konteks CBDC itu berbanding Bank Sentral Tiongkok.
Tiongkok paham betul, bahwa teknologi blockchain adalah dasar utama perkembangan ekonomi dunia. Tak heran, sejak tahun 2014 bank sentral Tiongkok telah melakukan penelitian dan pengembangan soal yuan digital, hingga ia diperkenalkan kepada dunia pada pertengahan tahun 2020 lalu.
Bagaimana dengan bank sentral negara lain? Sejauh mata memandang, negara-negara berskala ekonomi besar wajib hukumnya mempertimbangkan format digital murni atas mata uangnya.
Dalam hal ini bank sentral Singapura, Korea Selatan, Tiongkok, Kamboja dan Filipia merasa cocok untuk masuk lebih dalam.
Tapi mungkin agak berbeda jikalau Filipina terlalu serius masuk ke ranah CBDC ketika skala ekonomi mereka tidak terlalu besar dibandingkan Jepang dan Korsel.
Bagi kami, bank sentral negara manapun, khususnya negara maju, akan kian terus terang soal keterusterangannya soal CBDC ini, entah itu atas dasar ekonomi ataupun nasionalisme.
Namun demikian, mengingat blockchain menghasilkan efisiensi yang luar biasa terhadap mata uang negara, bank sentral manapun bukan secara cepat menerbitkannya, karena ada dampak sosial yang masif lahir dari itu.
Selayaknya “virus” ia berjalan secara kasat mata, pelan hampir tak terasa, hingga tiba-tiba kelak kita tak bertanya lagi: “Apa itu teknologi blockchain, serupa dengan tidak bertanya lagi apa itu Internet!” [*]