Menakar Peluang dan Risiko Aset Kripto di DeFi

Sektor DeFi alias Decentralized Finance/keuangan desentralistik pada prinsipnya adalah perluasan dari sektor fintech (teknologi keuangan). Perbedaannya hanya pada teknologi yang digunakan dan bagaimana ia diproses: blockchain, smart contract dan aset kripto. Namun ada risiko di dalamnya.

Berdasarkan data teranyar dari DefiPulse, valuasi sektor DeFi dari 30 DeFi terpopular mencapai US$1,84 miliar sejak Oktober 2017.

Sepanjang 90 hari terakhir saja meningkat drastis sejak 16 Juni, yakni US$987 juta.

Total Ether (ETH) yang ter-lock di dalamnya mencapai 3,1 juta. Sedangkan Bitcoin mencapai 10,1 ribu BTC dan DAI (stablecoin bernilai dolar AS) mencapai 118,3 juta DAI.

Peningkatan Ether (ETH) yang terl-lock di 30 Defi, berdasarkan data dari DefiPulse.

Prinsip DeFi, khususnya untuk kategori lending di Maker misalnya, Anda bisa meminjam aset kripto DAI menggunakan jaminan/agunan aset kripto ETH.

Misalnya Anda mengagunkan 1 ETH (setara Rp2,5 juta), Anda bisa mendapatkan pinjaman 300 DAI (Rp4 juta-an). Proses ini berjalan secara otomatis di platform khusus bernama OASIS melalui dompet Ethereum, Metamask.

Nah, yang menarik adalah di sini berlaku sistem “compound“, yakni DAI pinjaman itu langsung bisa Anda gunakan untuk membeli Ether dan dilanjutkan kembali meminjam DAI. Demikian seterusnya, hingga Anda mendapatkan laba berdasarkan rasio antara beli dan jual-nya.

Dengan nilai akumulasi aset kripto yang ter-lock di dalam DeFi, dapat pula ditafsirkan sebagai cerminan para holder aset kripto jangka panjang. Dengan meminjam aset kriptonya, ada dinamika dan pertambahan ekonomi yang berbeda, daripada sekadar pengayaan lewat trading.

Selain itu, karena DeFi pada dasarnya adalah decentralized app yang menggunakan smart contract, transparansi proses dan keyakinan terhadap kode program aplikasi lebih terbuka.

Namun, demikian karena sektor DeFi pada prinsipnya masih wujud awal pengayaan blockchain di sektor keuangan, tidak tertutup kemungkinan ada bahaya yang mengintai.

Bahaya itu terjadi pada DeFi dForce, 19 April 2020 lalu. Akibat kelalaian penerapan kode, pengguna DeFi itu kehilangan aset kripto imBTC senilai US$25 juta atau setara dengan Rp387 miliar. Syukurnya tidak lebih dari 30 hari, 100 persen duit pengguna dikembalikan oleh si peretas.

Mindao Yang, Pendiri DForce mengklaim kejadian itu sebagai sebuah “aksi peretasan”.

“Kami akhirnya mengetahui, bahwa peretas memanfaatkan kerentanan dalam standar ERC777 dari token imBTC dengan melakukan serangan ‘reentrancy‘. Mekanisme ‘panggilan balik’ itu memungkinkan peretas untuk menyetor dan menarik imBTC berulang kali sebelum saldo diperbarui. Kajian teknis soal itu disajikan oleh PeckShield,” kata Mindao akun dForce di Medium, Senin (20 April 2020).

PeckShield menyebutkan, bahwa serangan itu terjadi terkait dengan token imBTC. Nilai token yang dibuat di blockchain Ethereum itu 1 banding 1 terhadap nilai Bitcoin (BTC). Token itulah yang dijadikan jaminan (collateral) oleh pengguna di platform Lendf.me. imBTC sendiri dibuat oleh Perusahaan Tokenlon, yang juga sedang menyelidiki kasus ini.

“Secara teknis, logika utama di balik dua insiden itu adalah ketidakcocokan antara ERC777 pada token imBTC dan smart contract yang dibuat oleh perusahaan itu di platform keuangannya. Ini yang mungkin disalahgunakan oleh peretas untuk benar-benar membajak transaksi normal dan melakukan operasi ilegal tambahan,” jelas PeckShield melalui Medium.

Secara umum, penerapan smart contract dan blockchain di sektor keuangan adalah keunggulan yang tidak ada di sistem keuangan konvensional, khususnya soal keterbukaan dan murahnya biaya transaksi.

Namun, kelak perlu adaanya standard internasioanal khusus untuk aset kripto di sektor DeFi, karena menyangkut kekayaan individu dan korporasi. Kelak dengan standar itu, lembaga keuangan konvensional kian tertarik mengadopsi model DeFi di produknya. [*]

Comments are closed for this post.