Menyikapi Tesla Hentikan Pembayaran Pakai Bitcoin
Kemarin Elon Musk mengumumkan bahwa Tesla menghentikan kebijakan penggunaan Bitcoin (BTC) untuk pembelian mobilnya. Bos besar itu sejatinya dalam posisi dilematis.
Tesla beralasan, proses produksi Bitcoin baru masih menggunakan batubara yang merugikan lingkungan.
Lagipula batubara memang bukanlah sumber energi terbarukan.
Ia masih dipakai untuk membangkitkan listrik, karena terhitung lebih murah dibandingkan sumber lainnya, seperti tenaga angin ataupun air.
Soal itu tidaklah keliru, karena penambangan Bitcoin memang perlu energi listrik yang luar biasa dan masih mengandalkan batubara seperti di Tiongkok.
Berdasarkan data terkini dari Cambridge, konsumsi listrik untuk menambang Bitcoin secara global, melebihi konsumsi listrik di negara Swedia dan Malaysia.
Dan ini akan bertambah terus, seiring meningkatnya permintaan terhadap Bitcoin.
Saat ini konsumsi tambang Bitcoin secara global adalah 149.63 TWh per tahun. Sedangkan Swedia dan Malaysia, masing-masing 131.80 TWh per tahun dan 147.21 TWh per tahun. Kelak akan menyamai Mesir dan Polandia.
Sebagai catatan, Tiongkok masih menguasai industri ini, sebesar 65 persen dan masih mengandalkan listrik dari batubara dan sebagian lagi tenaga air.
Pemerintah Tiongkok sendiri juga semakin ketat mengawasi penggunaan listrik untuk menambang Bitcoin, karena negara itu masih mengandalkan batubara sebagai sumber energi yang murah.
Toh, Tesla memang menempatkan dirinya sebagai perusahan pro lingkungan hidup, lewat mobil listriknya. Maka tak heran pernyataan itu keluar.
Ketika beberapa waktu lalu Tesla menyatakan bahwa penggunanya boleh menggunakan Bitcoin untuk membeli mobil listriknya, harga Bitcoin langsung melejit.
Umat kripto pun happy dan menilai Tesla benar-benar mendukung kelas aset baru itu ke tingkat ke lebih nyata.
Itu sangat beralasan karena sebelumnya Tesla membeli Bitcoin senilai US$1,5 milyar dan menjadi bagian sentral dari neraca keuangannya.
Tesla juga sudah mencicipi bermanfaatnya berinvestasi Bitcoin demi menyelamatkan keuangannya. Bayangkan saja US$101 juta Bitcoin menyumbang laba kepada Tesla, setelah mereka menjualnya sebagian.
Nah, kemarin Elon Musk menegaskan menghentikan penggunaan Bitcoin sebagai alternatif pembayaran.
Pasar kripto yang sedang tersedot ke dolar, kian anjlok lagi. Harga Bitcoin pun masuk ke area Rp700 juta.
Tapi, itu sebenarnya “penambah rasa”, karena pasar kripto sebenarnya memang sedang terkoreksi. Langkah Tesla itu sekadar penegas dan penambah nuansa saja.
Akibatnya, “buying the dip” pun terjadi oleh MicroStrategy. Perusahaan pimpinan Michael Saylor itu di hari yang sama membeli Bitcoin lagi senilai US$15 juta.
Apakah Tesla melakukan hal serupa, tanpa kita ketahui? Itu bisa saja terjadi.
Antara Hipokrit dan Dilematis
Kalau dipikir-pikir sangat aneh membatalkan pembayaran menggunakan Bitcoin, karena Tesla sendiri tetap memiliki Bitcoin yang jelas-jelas diproduksi menggunakan energi yang tak ramah lingkungan itu.
Ini menempatkan Tesla dalam posisi hipokrit sekaligus dilematis. Di satu sisi mereka perlu Bitcoin demi keuangan mereka yang tergerus nilai dolar.
Di sisi lain mereka juga harus siap dicibir karena membatalkan layanan pembayaran menggunakan Bitcoin. Artinya, apa bedanya kalau memang dilanjutkan?
Tapi, di atas itu semua, mengingat ini tetaplah bisnis, citra dan merek perusahaan yang harus dijaga, atau sekadar trik market maker di aset kripto?
Menurut kami, tidak selamanya penambangan Bitcoin akan memakai sumber energi yang tak ramah lingkungan. Ini perlu proses yang tak mudah.
Lihat Tiongkok yang merajai 65 persen tambang Bitcoin global terus berupaya menggunakan energi alternatif seperti angin dan air.
Masalahnya saat ini, belum memungkinkan secara maksimal, karena sangat bergantung dengan cuaca.
Pun kalau Tesla ingin mencicipi Bitcoin yang ramah lingkungan, Elon Musk harus membuktikan itu dengan masuk ke bisnis tambang Bitcoin yang dianggapnya baik. [triv]