Penguat Rasa Bitcoin: Visa, Mastercard, OCC dan Bank Sentral
Penguatan harga Bitcoin sejak 28 Juli 2020 lalu, resmi mengantarkan Raja Aset Kripto itu ke US$12.110 (Rp178 juta) per BTC pada 2 Agustus 2020. Keputusan Visa, Mastercard, OCC dan kebijakan moneter Bank Sentral AS disebut sebagai pemicunya. Rasa Bitcoin pun kian kuat.
Ketika artikel ini kami tulis, harga Bitcoin berada di kisaran Rp170,4 jutaan (lihat Triv.co.id). Harga itu lonjakan menarik sekali, sebab turun dari wilayah US$12 ribu itu, menjadi US$10.500 di hari yang sama.
Artinya sentimen positif masih beraura di tubuh Bitcoin, karena rasio harganya tidak terpaut jauh.
Secara fundamental banyak penyokong penguatan harga Bitcoin sejak akhir Juli 2020 lalu. Penguatan itu terbilang istimewa, karena berhasil memembus resisten US$10 ribu, berlanjut ke US$11 ribu dan US$12 ribu.
Jikalau beranjak pada asumsi bahwa Halving III, Mei 2020 menguatkan valuasinya, maka harga saat ini adalah buktinya.
Namun,ada sejumlah faktor lain yang berdampak pada perluasan adopsi aset kripto secara umum dan Bitcoin secara khusus.
Pertama, perusahaan Visa dan Mastercard yang membuka lebar-lebar peluang bagi banyak perusahaan sebagai mitra mereka dalam memadukan aset kripto dengan produk kedua perusahaan.
Salah satu di antaranya adalah penerbitan kartu debit bernilai aset kripto yang bisa digunakan untuk bertransaksi secara online dan offline di merchant yang mendukung kartu Visa dan Mastercard.
Memang sebelumnya Visa dan Mastercard banyak mendukung kartu debit aset kripto itu. Namun, keputusan beberapa pekan lalu lebih berakar dan lebih luas dan mencerminkan keseriusan mereka menangkap pasar baru ini.
Kedua, Badan Pengawas Mata Uang Dolar (OCC), Kementerian Keuangan Amerika Serikat yang mengizinkan bank swasta dan bank milik pemerintah membuka layanan penyimpanan dan pengelolaan aset kripto.
Keputusan itu belum pernah terjadi sebelumnya, karena hanya membatasi penyimpanan dan perdagangan aset kripto di bursa aset kripto. Di AS misalnya yang terkenal adalah Coinbase.
Bayangkan saja, bank-bank besar di AS membuka layanan itu, maka adopsi dan penetrasi Bitcoin menjadi lebih luas dan berdampak pada valuasinya.
Bank yang minat terhadap layanan terkait aset kripto juga terjadi di Swiss sejak setahun terakhir. Bagi mereka, membuka layanan seperti itu demi mengakomodir nasabah-nasabah muda yang mulai suka Bitcoin.
Ketiga, ini terkait kebijakan moneter alias kebijakan pasokan mata uang negara oleh bank sentral dalam konteks pandemi COVID-19 yang meluluhlantahkan ekonomi dunia.
Dunia saat ini resmi masuk di wilayah resesi yang ditandai rontoknya pasar saham di AS dan sejumlah negara maju.
Pertumbuhan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut juga melemah. Lihatlah Singapura dan Jepang, mereka sudah mengalamai resesi.
Penanda lainnya adalah harga emas meroket cepat menembus harga tertinggi sepanjang masa, yakni US$2000 per oz.
Kelajuan harga emas itu sangat mirip dengan kelajuan pada tahun 2008 ketika krisis keuangan melanda dunia.
Emas sendiri diprediksi terus naik hingga US$3000 per oz, yang kemudian bisa membetot harga emas di dalam negeri mencapai Rp1,5-2 juta per gram.
Dalam situasi resesi, maka bank sentral dan pemerintah harus mengeluarkan kebijakan stimulus agar ekonomi tidak menjadi sangat parah.
Salah satu caranya adalah menambah pasokan uang baru ke dalam pasar, lebih banyak daripada sebelumnya. Misalnya bank sentral membeli obligasi pemerintah, bahkan saham-saham di pasar modal, termasuk bantuan langsung tunai dan lain sebagainya.
Langkah seperti itu sangat baik, tapi mengkhawatirkan masyarakat akan terjadi inflasi yang besar yang menggerus nilai mata uang.
Itulah mendorong masyarakat membeli emas dan Bitcoin, agar nilai kekayaannya terlindungi. Akibatnya, harga kedua aset itu menaik.
Bagaimana dengan Anda, sudahkah Anda menyetok Bitcoin dan bersiap menyambut “penguatan rasa” berikutnya? [*]