Pilah Dulu Sebelum Pilih Blockchain
Jatuhnya harga Bitcoin dan kripto lainnya sejak medio Desember 2017 lalu, memberikan pelajaran kepada dunia, betapa hype teknologi blockchain dan kripto belum mendewasakan penggunanya. Untuk sesuatu yang memantik perhatian orang ramai, hype bukannya tak perlu. Bahkan hype tak dapat dihindari dalam sebuah dinamika teknologi beraroma ekonomi.
Hingga detik ini pun hiruk pikuk masih marak. Sejumlah pihak ingin melepaskan blockchain sebagai teknologi dan kripto sebagai sistem imbalan yang terpisah. Itulah sebabnya dimunculkan jargon yang memilik jarak dengan itu, seperti distributed ledger technology (DLT). Dengan DLT, sistem token digital, yang juga disebut kripto, bisa dihilangkan atau disembunyikan, sehingga spekulasi harga dapat dihilangkan. Jadi, pengguna teknologi lebih fokus pada utilitasnya, tidak dengan aspek penggalangan dana dan instrumen investasi selayak saham. Jikalau pun ada aspek imbalan, pengguna DLT dapat menggunakan uang fiat biasa.
Beberapa hal yang kerap tidak diketahui, atau mungkin sengaja disembunyikan dalam hype itu adalah pengetahuan tentang self assesment sebagai prinsip sebelum menerapkan blockchain di tingkat bisnis.
PricewaterhouseCoopers (PwC) memiliki resep soal itu. Dalam laporan PwC, “Fourth Industrial Revolution for the Earth Series: Building block(chain)s for a better planet” pada September 2018, PwC mengemukakan tiga prinsip sebelum menerapkan blockchain di bidang bisnis secara umum dan secara khusus untuk bidang penyelamatan planet ini.
Pertama, Apakah Anda yakin blockchain mampu memecahkan masalah sesungguhnya? Kedua, Apakah Anda mampu menerima dan sanggup mengelola jikalau muncul resiko atau hal-hal yang diinginkan? Ketiga, Apakah sebelumya, Anda telah membangun pemangku kepentingan dalam satu ekosistem.
Menyorot prinsip pertama, kita harus mempertimbangkan apakah blockchain benar-benar diperlukan sebagai solusi atas sejumlah masalah. Dan itu harus dapat dijelaskan secara terang benderang dan mampu berjalan secara berkelanjutan.
Misalnya wacana soal blockchain sebagai solusi bagi meningkatkan kesejahteraan petani. Penyedia blockchain mungkin mewujudkannya dengan menyediakan data exchange platform. Petani akan diberikan semacam imbalan, jikalau mereka bersedia menyediakan beragam data yang diperlukan pihak ketiga, seperti data panen, merek pupuk dan bibit yang digunakan, masa tanam, masa panen hingga transaksi penjualan hasil tani.
Soal menyasar kepada petani, harus jelas dulu petani yang mana? Jikalau menyasar petani secara individu, bagaimana kemungkinan soal ketidakmampuan petani menggunakan platform itu di ponsel cerdasnya? Itu pun dengan anggapan mereka punya perangkat itu dan memang memiliki akses Internet yang baik di wilayah pedesaan. Bukankah, misalnya dalam konteks Indonesia, akses listrik dan Internet saja masih minim? Artinya, pensigian soal kesiapan sasaran pemangku kepentingan juga tak kalah penting. Jangan sampai produk sudah jadi, tetapi partisipan bisa jadi tidak ada yang bermuara pada tidak ada data yang bisa disediakan.
Bahwa permintaan terhadap data pertanian yang akurat adalah benar, tetapi sistem yang eksis sekarang pun belum menjadi solusi tepat, padahal sebelumnya digadang-gadang bisa menghasilkan data yang kukuh, lengkap dan transparan. Kemudian, bahwa blockchain akan menjadikan transaksi data menjadi transparan, tetapi tidak kukuh dan lengkap? Apa gunanya karakter transparan itu?
Kedua, Apakah kita mampu menerima dan sanggup mengelola jikalau muncul resiko atau hal-hal yang diinginkan? Dalam sudut pandang kripto sebagai instrumen investasi tak teregulasi, resiko kerugian selalu mengancam pihak yang menahan token digital yang digunakan. Mereka yang kurang memahami karakter bisnis perusahaan yang menerbitkan token itu, cenderung berharap harga naik secara cepat. Padahal kripto sebagai medium penggalangan dana publik seperti saham, perlu kecermatan penggunanya.
Ini pula terjadi pada pihak penerbit token. Penerbit token harus menyeimbangkannya dengan aspek edukasi, bahwa investasi dengan kripto adalah sangat berisiko dan spekulatif dan value-nya pun dalam jangka panjang belum tentu prima, karena sangat bergantung pada performa perusahaan itu sendiri.
Ketiga, Apakah sebelumya, Anda telah membangun pemangku kepentingan dalam satu ekosistem. Yang satu ini lekat dengan pembahasan pertama, bahwa use case nyata berbanding lurus dengan jumlah pengguna token itu. Jikalau jumlahnya sedikit dan dengan pengulangan penggunaan yang kecil, ada kemungkinan value token itu tidak ada apa-apanya. Apakah Anda berharap ada pemegang token terbanyak tidak menjual tokennya dalam jumah masih, sehingga mampu merontokkan harga di pasar? Serupa seperti saham, tak ada bisa melarang pengguna token sebanyak apapun untuk tidak melepasnya ke pasar.
Dan sebaliknya pula, trader kecil tetap memerlukan kekuatan trader dan investor besar untuk mendorong harga jauh tinggi. Yang sulit diketahui adalah kapan dan seberapa besar, karena yang tidak transparan dalam bisnis kripto adalah laporan keuangan perusahaan penerbit kripto, yang bisa menentukan performa token tersebut di masa depan.
Maka, kita akan masih larut dalam hiruk pikuk yang serupa. Hanya masanya saja yang berbeda. Belum lagi ketidakjelasan regulasi yang wacananya akan dibuat demi kepentingan publik. Lalu apa yang ditunggu?