USDT Tak Sendiri, Peraturan adalah Kunci
iFinex, Tether dan Bitfinex yang terafiliasi dengan kripto USDT tengah terbelit kasus yang panas. Ketiga entitas perusahaan yang berbasis di British Virgin Island dan Hong Kong itu dituntut oleh Kejaksaan New York untuk menjelaskan duduk perkara soal utang US$850 juta yang digantikan dengan kripto USDT kepada sejumlah nasabah asal Amerika Serikat.
Sebelum membahas kasus yang pelik itu, salah satu pintu masuk untuk membahas kripto USDT (United States Dollar Tether) adalah dari premis ini: dalam konteks teknologi, manusia akan cenderung menggunakan pilihan yang lebih efisien (baca: cepat, murah, mudah), daripada yang sebaliknya, katakanlah untuk mentransfer uang lintas negara yang melalui bank perlu 3 hari lamanya. Kendati inovasi baru itu relatif menabrak peraturan yang dibuat oleh negara, value (nilai) yang lebih unggul akan selalu jadi pilihan.
USDT yang berbasis OMNI Layer pada blockchain Bitcoin misalnya hanya perlu 30-60 menit untuk mentransfer “uang dolar AS” kemanapun dan dimanapun dan bisa ditukar ke uang di negara lain, termasuk di Indonesia. Fee transaksi pun hanya 5 USDT untuk jumlah kiriman berapapun. USDT versi EOS, Tron dan Ethereum bahkan lebih cepat, dengan fee transaksi 1 hingga 2 USDT. Sementara Tron bahkan gratis (setidaknya untuk saat ini).
Soal perkara itu, pihak iFinex, yang merupakan perusahaan induk dari Tether dan Bitfinex kukuh bahwa perusahaannya tidak beroperasi lagi di Amerika Serikat sejak 2017, gara-gara peraturan yang tidak akomodatif dari CFTC (Komisi Perdagangan Komoditas Amerika Serikat) dan SEC (Komisi Sekuritas Amerika Serikat). Tapi pihak Kejaksaan Agung New York mengklaim, bahwa Bitfinex punya kantor perwakilan di New York dan melayani sejumlah nasabah yang berdomisili di Amerika Serikat. Karena ada perwakilan formal, maka perusahaan tunduk pada peraturan.
Kedua belah pihak saling menguatkan beragam bukti, di mana pihak iFinex sendiri mengklaim telah menghabiskan sekitar US$500 juta untuk mengumpulkan bukti-bukti dokumen legal yang sebelumnya diminta oleh Kejaksaan sebelum sidang digelar.
Pendapat utama kejaksaan bukan saja soal penutupan kerugian perusahaan yang menggunakan kripto USDT, tetapi pula ada kongkalikong antara Bitfinex dan Crypto Capital. Perusahan yang tersebut terakhir ini adalah Mitra Bitfinex untuk menyimpan uang tunai. Masalahnya Crypto Capital membekukan transaksi kepada Bitfinex dan memaksa Bitfinex menerbitkan USDT untuk menutupi kerugiannya.
Kasus ini menambah daftar panjang kontroversi Bitfinex dan Tether terhadap USDT yang sangat kontroversial itu. Bahwa Tether memang benar-benar memiliki sejumlah uang tunai yang “mem-backup” jumlah USDT yang beredar, tiada kunjung jelas. Praktis pilihan publik untuk menafsirkan aksi itu adalah: USDT tidak memiliki “asset-backed” berupa uang fiat dolar AS yang sesungguhnya. Bahasa mudahnya: out of thin air-crypto, USDT bisa diterbitkan sebanyak mungkin dengan nilainya sama dengan 1 dolar AS.
Sebagaimana dalam kasus-kasus teknologi keuangan lainnya di Amerika Serikat. Pihak terkait di negeri itu, praktis menuntut sebuah perusahaan, ketika perusahaan itu tidak memiliki izin beroperasi yang dikeluarkan oleh CFTC dan SEC. Dalam hal ini Bitfinex adalah ilegal dan lebih mudah untuk dicarikan kesalahannya.
Padahal stablecoin join selain USDT ada banyak terbit yang berasal dari Amerika Serikat. Sebut saja misalnya GUSD yang diterbitkan oleh bursa kripto Gemini. Perusahaan yang didirikan si kembar Winklevoss ini jelas dan tunduk kepada peraturan yang ada.
Jadi, kasus ini amat sangat bergantung pada kelapangan dada kejaksaan New York, apakah menerima secara penuh sejumlah dokumen yang melawan tuntutan hukum, yang dianggap merugikan masyarakat Amerika Serikat itu. Di satu sisi ini menguntungkan bagi penerbit stablecoin berbasis uang dolar lainnya, seperti GUSD yang dianggap lebih legal. [*]