Bagaimana Aset Kripto “Dibakar” untuk Kurangi Suplainya?

Artikel ini kami tulis berdasarkan permintaan dari pengguna Triv, yang ingin tahu lebih jauh tentang prinsip dasar pembakaran (burn) aset kripto. Sebelum aset kripto/cryptocurrency tercipta, yang dimulai dari Bitcoin 11 tahun lalu, metode pembakaran (burn) sebenarnya dikenal dalam dunia keuangan. Uang kertas dan logam atau yang dikenal sebagai fiat money yang diterbitkan oleh negara, metode pembakaran (dengan api) kerap digunakan. Fungsi utamanya adalah untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Peredaran uang yang terkendali adalah penting agar tingkat inflasi bisa terjaga. Inflasi yang terjaga baik adalah syarat agar harga barang dan jasa tidak naik.

Sebelum membahas pembakaran aset kripto, kita lihat dulu konsep dasar inflasi. Yang penting diingat adalah inflasi merupakan derajat nilai uang Anda. Di Indonesia, secara nasional tingkat inflasi rata-rata 3,41 persen per tahun atau 0,28 persen per bulan. Artinya, gaji yang terima setiap bulan, nilai aslinya adalah setelah dikurangi 0,28 persen. Misalnya gaji Anda per bulan adalah 5 juta rupiah. Dengan mengacu pada inflasi 0,28 persen per bulan, maka nilai asli uang Anda adalah: Rp4.985.792.

Berbeda kota, berbeda pula tingkat inflasinya. Pada Mei 2019 misalnya inflasi di Jakarta mencapai 0,59 persen. Kemudian pada Juni 2019 turun tipis menjadi 0,47 persen. Anda bisa bayangkan sendiri, inflasi di Jakarta melebihi nilai inflasi rata-rata nasional. Inilah yang menjelaskan perbedaan gaji antara karyawan di Jakarta dengan di Medan, misalnya.

Maka, gaji karyawan di Jakarta tampak lebih besar daripada gaji karyawan di Medan, karena disesuaikan dengan tingkat inflasi di masing-masing kota. Atau dengan kata lain, kebutuhan hidup (belanja barang dan jasa) di Jakarta lebih mahal daripada di Medan.

Membakar aset kripto
Dengan tujuan serupa, pembakaran aset kripto tentu saja tidak menggunakan api dengan cara membakar komputer atau wallet Anda. Di blockchain Ethereum misalnya, untuk membakar token tertentu, maka cukup dengan mengirimkan jumlah token yang ingin dibakar ke address khusus, di mana address itu benar-benar tak memiliki private key, sehingga siapapun tak bisa mengaksesnya.

Token Binance Coin, sebelum hijrah ke Binance Chain misalnya melakukan burning sebanyak 1.623.818 BNB pada 16 Januari 2019 lalu. Pihak Binance menggunakan fungsi “Function: burn(uint256 _value) pada smart contract-nya” untuk melakukan itu. Untuk melihat berapa banyak token BNB yang sudah dibakar, dalam rekaman transaksi di atas (Etherscan), klik tombol “Decode Input Data” dari bagian “Input Data”. Anda akan melihat digit angka: 1623818000000000000000000. Nah, karena desimal BNB adalah 18, maka total BNB yang dibakar adalah sebanyak 1.623.818 BNB.

coin burning function

Fungsi pembakaran aset kripto pada smart contract.

coin burning amount

Total jumlah aset kripto yang dibakar.

 

Nah, setelah aset kripto dibakar, maka sudah dapat dipastikan yang sudah dibakar itu musnah selamanya dan tak dapat diakses sama sekali dan setiap orang bisa melacak dan memverifikasi kepastiannya. Informasi pembakaran itu pun tentu saja tersimpan di blockchain dan tidak terhapus, kekal abadi.

Pembakaran aset kripto Stellar Lumens (XLM) juga berlaku serupa, dengan mengirimkan ke address tertentu khusus pembakaran, maka 55 persen dari total suplainya sebanyak 105 miliar menjadi berkurang.

Nah, di sini pula letak perbedaan tingkat transparansi antara uang fiat dengan aset kripto. Kalau uang fiat, setelah dibakar, kita tak dapat pastikan secara penuh, berapa duit yang sudah dibakar dan berapa sisanya, karena ini adalah otoritas Bank Indonesia dan pihak terkait. Kita cukup mempercayai informasi dari Bank Indonesia dan inflasi tetap terjaga stabil dan harga barang dan jasa masih terjangkau dengan nilai uang di kantong kita.

Manfaat Lain
Dengan mengurangi jumlah suplai aset kripto, maka diharapkan bisa menurunkan tingkat inflasinya, sekaligus meningkatkan nilainya, termasuk melejitkan harganya. Ini cukup terbukti dengan pembakaran BNB dan XLM, ada kenaikan harga di pasar, setelah jumlah suplainya berkurang.

Namun demikian, itu pun harus dibarengi dengan variabel lainnya, yakni jumlah pembelian yang tinggi dan turut didorong oleh “aksi korporasi” berupa kerjasama dengan pihak lain. Itu pula harus dipastikan, bahwa potensinya digunakan oleh orang banyak dengan volume transaksi yang juga tinggi, tak hanya soal kapitalisasi pasarnya. [*]

Be the first to write a comment.

Your feedback