Beberapa Segi Perkembangan Blockchain di Asia Tenggara

Dua puluh tahun yang lalu, tak seorang pun mampu memprakirakan secara tepat dampak besar sejumlah penemuan, seperti ponsel cerdas dan World Wide Web (www) bagi umat manusia. Kiranya, selama teknologi itu unggul hingga ke ubun-ubun (maksudnya memiliki dampak ke ekonomi dan ramai), hal yang sama bisa didekati terhadap teknologi blockchain, yang merupakan fondasi dari mata uang elektronik berbasis kriptografi (cryptocurrency) Bitcoin dan sejenisnya.

Adalah lumrah munculkan kesalahpahaman antara makna blockchain dengan mata uang kriptografi. Memang beberapa jenis blockchain tak memerlukan yang disebut uang sebagai imbalan menjaga sistem jaringan itu, seperti yang dibuat oleh IBM dengan Hyperledger. Dalam hal ini aspek nilai, uang, harga, imbalan dalam sistem adalah pilihan semata. Bahwa aspek itu hadir, maka itu adalah pula lumrah, dan pula bergantung pada kesepakatan di antara partisipan sistem.

Blockchain memang mendunia, berkat keunggulan blockchain yang desentralistik, memungkinkan segala jenis industri disimpan dan diolah di dalamnya, berpadu dengan teknologi lainnya, seperti kecerdasan buatan, cloud, fisika kuantum dan lain sebagainya. Tetapi ingat, tak semua bidang bisa diterapkan blockchain. Setidaknya ia kukuh pada sistem yang kompleks dan punya kepentingan massal, khususnya pada data digitalnya. Sistem transfer uang adalah bidan yang sangat penting, termasuk pada sistem rantai pasok makanan dari produsen ke konsumen. Semuanya atas nama efisiensi uang dan waktu.

Di sejumlah negara di Asia Tenggara, ada perkembangan menarik yang patut disoroti. Thailand misalnya dapat dikatakan cukup lincah mengadopsinya. Thailand bahkan sudah membuat sejumlah peraturan soal ICO dan berencana membuat sistem instant settlement security berbasis blockchain. Belum lama ini,  bank sentral bahkan telah mengumumkan akan mempertimbangkan menggunakan blockchain untuk pembayaran lintas negara dan otentifikasi dokumen.

Singapura pun setali tiga uang. Negara pulau ini lebih adaptif dengan ICO. Bahkan sejumlah bursa mata uang kripto yang dilarang di Tiongkok, ditampung di Singapura. Acara-acara internasional terkait pun diselenggarakan di sana. Tak lupa pula Singapura telah banyak mengumumkan tentang pencanangan badan inkubator untuk mengembangkan blockchain

Tak jauh dari sana, ada Malaysia dengan New Economy Movement (NEM) Foundation blockchain centre, yang terbesar di Asia. Tempat khusus di Damansara itu memang diperuntukkan untuk mendidik warga tentang blockchain. Bahkan sejumlah startup berpeluang mendapatkan pendanaan di sini. Pemerintah Malaysia sendiri sudah punya 9 aturan terkait mata uang kripto ini. Bank Sentral memiliki peran khusus soal ini, dengan memanfaatkan fintech sandbox.

Indonesia juga termasuk cukup ramah. Hampir selusin exchange dan bursa kripto di negeri seribu pulau ini. Proyek ICO pun bermunculan. Online Pajak misalnya menggunakan blockchain agar pembayaran pajak lebih transparan daripada sebelumnya.

Di Vietnam, pemerintahnya mulai mencoba membuat fintech sandbox agar sekaligus bisa mengatur soal mata uang kripti itu. Penyedia layanan mobile Viettel misanya sedang bereksperimen dengan blockchain di sejumlah pilot projects. Sementara itu di Filipina ada sejumlah informasi dan panduan yang dapat dibaca oleh publik dari pemerintah terkait penggunaan teknologi ini.

Sejumlah perkembangan ini cukup menarik, kendati belum mampu menelurkan solusi sesungguhnya, karena masih terkendala soal SDM dan dana penelitian. Tetapi, mereka yang bergelut di sini, tahu pasti apa potensi dan dampak sosialnya di masa depan. Ini sangat sayang dilewatkan. (disarikan dari theaseanpost.com)

 

 

Be the first to write a comment.

Your feedback