Bias Pikir Soal Blockchain

Di satu sisi, ide Satoshi Nakamoto soal sistem uang elektronik peer-to-peer murni, seolah-olah mewacanakan soal ideologi libertarian-anarki, sesuatu yang melawan sistem status-quo. Sebut saja itu anti kapitalisme yang didominasi oleh negara sebagai mitra penting korporasi global.

Bagian dari paper Satoshi memang ada gagasan perlawanan itu, bahwa dengan menggunakan sistem yang ia buat, yang disebut uang tidak perlu melalui bank. Jumlahnya pun tak terbatas, lintas negara dan bisa dilakukan kapan dan di mana saja. Pada tahun 2008 silam dunia menyimak gagasan itu, hingga kekuatan teknologinya, yang disebut blockchain justru memantik gagasan serupa di kalangan kapitalis. Sebut saja bank, atau pihak swasta menawarkan teknologi itu kepada bank.

Mengingat kode program Bitcoin karya Satoshi adalah terbuka alias siapapun bisa mengakses dan memodifikasi dan mengembangkannya, maka dualisme antara kapitalisme-sosialisme tidaklah relevan. Jikalau yang disebut sosialisme bergerak di pikiran anarkisme, itu bukan bermakna Satoshi Nakamoto juga demikian. Satoshi sejatinya libertarian layaknya para pelaku kapitalisme.

Satoshi bukan pula sosialis hanya karena dia membagi-bagikan secara gratis kode programnya. Yang pasti Satoshi tak berkarakter sentralistik tetapi desentralistik, bahwa kekuasaan harus dibagi-bagi ke setiap partisipan. Kekuasaan dalam hal ini bukanlah merata, mengingat ada keunggulan finansial yang dijagokan dalam ekosistem itu dan tidak dapat dihindari. Inilah yang terjadi pada konsep penambang Bitcoin. Bukankah tidak semua orang sanggup membeli alat penambangan, berikut membayar biaya listrik yang besar itu?

Apakah ada aspek sentralistik kekuasaan di Bitcoin? Ya, bisa saja. Dari sanalah muncul ide, tetap bermuasal dari blockchain, bahwa Proof-of-work ala Bitcoin dapat dimunculka alternatifnya, yakni Proof-of-Stake, yang katanya berbiaya lebih murah dan lebih adoptif untuk sistem pembayaran sehari-hari. Dari sanalah muncul Ripple yang fokus bagi sistem perbankan, dan sejumlah pengembang blockchain lainnya.

Apakah Bitcoin sendiri akan mati? Tidak, jikalau kita berasumsi bahwa kapitalis alat penambang berharga mahal tetap ada dan masih ada yang doyan Bitcoin yang harganya naik-turun. Anda hanya dapat menghentikan Bitcoin, jika adalah “merudal” pabrik pembuat alat penambang dan sejumlah full node Bitcoin yang bisa Anda temukan di luar sana.

Pertanyaan paling penting di atas itu semua adalah, bagaimana manusia bisa mengembangkan blockchain lebih lanjut agar tidak jumawa lewat beragam ICO yang tak jelas peruntukkannya. Syukur-syukur ICO yang Anda ikuti itu moncer adanya dan Anda percaya terhadapnya.

Bicara blockchain adalah bicara soal seberapa besar penggunaannya secara nyata dan seberapa bisa ia berpadu dengan teknologi yang sekarang sudah ada, seperti cloud, big data dan kecerdasan buatan. Selain ia harus mudah, ia juga harus murah digunakan, setidaknya bisa disaksikan dan dinikmati orang-orang di pelosok desa. Itu pun harus mempertimbangkan ketersediaan akses Internet dan lain-lain. Sebab bank dan layanan keuangan masa depan hanyalah persoalan akses Internet. Selebihnya adalah aplikasi di ponsel. Pun kalau bisa transaksi keuangan berbasis blockchain, bisa menggunakan SMS saja, layaknya SMS banking yang sekarang sudah ada.[]

 

Be the first to write a comment.

Your feedback