Blockchain Sahabat Perusahaan Besar

Berdasarkan penelitian Deloitte, 95 persen perusahaan lintas sektor berinvestasi pada teknologi blockchain. Pada tahun ini, sejumlah pilot project itu mulai bergerak dari fase uji coba menjadi layak pakai oleh publik. Goldman Sachs, perusahaan berpengaruh di bidang keuangan dunia, yang sebelumnya ragu (atau mungkin pura-pura ragu) terhadap blockchain, sudah meluncurkan produk investasi kripto pada akhir tahun lalu. Selain itu, sejumlah proyek blockchain dirilis khusus untuk sektor keamanan siber, kesehatan dan pertanian.

Perusahaan-perusaahan “senior” tak lagi bertanya-tanya apa itu blockchain. Bahkan sebagian ingin lebih memadukan lagi blockchain dengan sistem yang mereka miliki. Tentu saja alasannya adalah efisiensi yang dapat dihasilkan oleh blockchain. Henri Arslanian dari lembaga penelitian PwC mengatakan, pada tahun lalu, masih banyak kebingungan dan hingar bingar soal blockchain, karena selalu tak dapat menghindarkan membicarakan itu, tanpa membicarakan Bitcoin sebagai basis imbalan dalam sistemnya.

Tahun ini, kata Arslanian memprakirakan blockchain akan semakin kental pada tingkat korporat besar. Dalam beberapa hari pada tahun 2019 saja, sejumlah perusahaan besar bermitra dengan sejumlah startup blockchain, di antaranya: ING Bank dan R3) Nasdaq dan Symbiont, serta Wall Street Blockchain Alliance dengan R3. Di satu kesimpulan singkat, perusahaan sudah tahu, bahwa yang disebut blockchain, bukanlah hanya untuk urusan mata yang kripto, tetapi pula pengamanan data digital yang berbeda dengan sistem sebelumnya.

Sejumlah alasan lain pun mengemuka, karena beberapa perusahaan besar juga menjajakan produk blockchain-nya. Terkadang istilahnya pun dibedakan, yakni menjadi decentralized ledger technology alias DLT. Sejumlah pakar memandang DLT bukan blockchain murni yang pada hakikatnya harus sebagian besar desentralistik, sebagaimana yang ditemukan pada blockchain Bitcoin dan Blockchain Ethereum. Keduanya adalah blockchain publik yang relatif transparan daripada DLT.

Vendor DLT ini pun jumlahnya semakin banyak, yang memang menyasar korporat yang enggan sejumlah data yang dimasukkan ke dalam blockchain publik seperti di atas. Sebab ada aspek tertentu untuk data perusahaan yang sangat tidak mungkin diakses oleh publik. Maka, DLT sejatinya, bukanlah blockchain yang sejak awal kita kenal, yakni Bitcoin dan Ethereum. DLT sifatnya privat dengan kebutuhan khusus.

Vendor DLT ternama adalah Hyperledger milik IBM yang bekerjasama dengan Linux Foundation. Oracle juga punya produk serupa, yang kedua-duanya dipadukan dengan produk cloud computing-nya. Konsorsium R3 juga punya R3 yang baru-baru ini menarik minat SWIFT untuk mencobanya untuk kebutuhan keamanan pengiriman uang antar bank lintas negara. Sejumlah klien IBM ini adalah Nestle, Unilever, Walmart, Kroger dan banyak lagi.

Dalam skala tertentu, misalnya soal faktor skalabilitas dan interoperabilitas, DLT adalah jawaban terhadap batasan blockchain publik. Sangat sulit menemukan blockchain publik yang bisa “berkomunikasi” denga jenis blockchain publik lainnya. Kecepatan transaksi juga sangat terbatas. Kalaupun ada yang cepat, peluangnya kecil dipadukan dengan sistem sentralistik dan privat yang diagung-agungkan oleh korporat.

Namun, dalam hal ini Ripple mungkin adalah pengecualian, karena ia punya produk bagus, Interledger, yang memungkinkan pengiriman uang lintas negara secara murah dalam jumlah banyak, cepat dan aman.

Bagaimanakah perjalanan blockchain selanjutnya? Yang masih awam, tentu masih menunggu dan masih membolak-balik balik buku dan Googling. Yang sudah tenggelam di blockchain sangat disarankan mengebut pengetahuannya agar bisa menggali peluang bisnis baru di blockchain ini, tidak melulu soal bikin coin-coin dan “makan cuan”. Jadi, “masa depan gila” ada di blockchain. Dan hari ini Anda memulainya, menjadi bagian dari sejarah hebat. []

 

Be the first to write a comment.

Your feedback