Blockchain Sesuai dengan Undang-undang Farmasi AS
Bukanlah sebuah kebetulan kalau teknologi blockchain mampu lebih memantapkan lagi sistem rantai pasokan (supply chain) di beragam industri. Di Amerika Serikat (AS), karena pemerintah wewajibkan pelacakan lebih rinci terhadap obat-obatan, teknologi blockchain dipandang sebagai perangkat menaiktarafkan kualitas pengawasan peredarannya.
Di Amerika Serikat, Undang-undang Keamanan Rantai Pasokan Obat 2013 mewajibkan perusahaan obat dan mitra rantai pasokan mereka untuk melacak lebih dekat di mana produk akhir mereka dikirim. Hal itu bertujuan agar obat palsu lebih sulit untuk “menyelinap” ke dalam sistem dan mengurangi penarikan obat dari pasar.
Berdasarkan undang-undang itu pula, pada tahun 2020, apotek dan rumah sakit harus dapat memverifikasi bahwa obat-obatan yang mereka berikan berasal dari produsen atau pengepak ulang (repackagers). Namun demikian, menerapkan blockchain di bidang ini tidaklah mudah, sebab produsen farmasi besar masih mengevaluasi cara mematuhi aturan itu, termasuk untuk membuat database yang terperinci dan permanen. Di atas itu semua, satu yang pasti, jikalau blockchain sudah diterapkan, proses berikutnya akan lebih mudah. Atau dengan kata lain, tujuan utama dari undang-undang itu dapat tercapai.
Pada 2017, the Center for Supply Chain Studies, AS telah melakukan studi dan ujicoba blockchain untuk sistem rantai pasokan obat. Langkah itu merangkul sejumlah produsen obat, distributor dan apotek untuk menilai bagaimana blockchain dapat memenuhi persyaratan hukum, demikian ujar Robert Celeste, pendiri organisasi tersebut kepada Bloomberg belum lama ini.
Kata Celeste memasukkan puluhan ribu data apotek AS ke dalam satu set database pelacakan obat adalah tantangan besar, dan blockchain adalah cara yang menarik untuk menyederhanakannya. Ia menambahkan, dari sudut pandang blockchain, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, tetapi itu dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Arun Ghosh, dari KPMG LLP mengungkapkan, potensi blockchain di industri farmasi tidaklah main-main. Jikalau didekatkan dengan kebijakan undang-undang tersebut, pelacakan setiap paket obat harus dilakukan terpisah. Nah, masalahnya teknologi yang digunakan saat ini hanya dapat melakukannya di tingkatan umum, sehingga jikalau ada masalah khusus tetapi berdampak besar, maka sangat lama dan sulit dicarikan solusinya.
Ghosh mencontohkan pada praktik pengobatan kanker yang berharga mahal. Dalam solusi konvensional, ketika obat sudah beredar, tetapi di satu peristiwa ada kasus di mana ditemukan bahan tidak bermutu di antaranya, maka obat-obat harus ditarik kembali untuk mencari apa masalahnya. Nah, berbeda halnya jikalau sudah ada blockchain, maka sistem akan secara otomatis memunculkan masalah nyatanya di lapangan secara realtime, berdasarkan database yang sudah ada sebelumya. Karena masalahnya jelas, maka tidak diperlukan lagi penarikan barang dan obat-obatan dari pasar secara besar-besaran.