Dolar Versus Bitcoin, Perluas Sudut Pandang
Banyak pihak yang “panik” ketika Bitcoin terkoreksi hingga 27 persen sejak 8 Januari 2021 lalu. Pasar Bitcoin kehilangan pasar lebih dari Rp165 juta. Bagi “penghuni lama” Bitcoin, gerak seperti ini lazim, tetapi tidak bagi “pemula”. Namun, bagi kedua jenis penghuni itu, kita perlu perluas sudut pandang, sekali lagi. Ini dia!
Pertama, harus dipahami bahwa jika sistem ekonomi global baik adanya dan tidak mengalami krisis keuangan global berkali-kali, seperti yang terparah pada tahun 2008, maka Bitcoin tak ada hadir di tengah-tengah kita.
Artinya, Bitcoin adalah alternatif sistem keuangan yang berada di luar sistem negara, di luar supra struktur pemerintahan.
Kalau hendak ditafsirkan, berada di luar negara adalah sebuah sikap ketidakpercayaan petinggi negara yang korup dan kerap membuat warga diperdaya.
Krisis keuangan global tahun 2008 adalah bukti bahwa sistem keuangan sangat rapuh akibat penipuan oleh perbankan dan perusahaan-perusahaan ternama asal AS soal industri perumahan yang sebenarnya sudah keruh.
Namun, demi bisnis, mereka tega menipu investor, bahwa industri itu masih sehat. Ternyata tidak.
Dampaknya masih terasa hingga saat ini, setidaknya di dua negara, yaitu Jepang dan Uni Eropa yang masih memberlakukan suku bunga negatif. Kebijakan seperti itu bermakna, bank sendiri tidak bisa memberikan bunga lagi kepada nasabah, karena ekonomi tidak baik seperti kelihatannya.
Pada tahun 2008 itulah Bank Sentral Amerika membuat kebijakan pelonggaran kuantitatif yang diartikan menambah pasokan uang dolar ke dalam ekonomi. Bertambahnya pasokan uang sama halnya dengan melemahkan nilai mata uang itu secara global.
Kedua, nilai dolar tergerus. Menurunnya nilai mata uang berlaku sangat lambat, hampir tak terasa. Lihatlah nilai dolar AS terhadap mata uang ternama lainnya, sudah minus 29 persen sejak tahun awal Desember tahun 2001.
Pada tahun itu juga dolar sudah minus 5 persen, lalu berlanjut dihantam krisis tahun 2008 hingga minus 44 persen. Jadi, kita tak heran, narasi dolar versus Bitcoin tampak berhasil ketika harga Bitcoin pada Desember 2017 melejit hingga lebih dari US$20.000 per BTC. Bitcoin dianggap sebagai alternatif terbaik saat itu, sejak lahir pada Oktober 2008 dari tangan Satoshi Nakamoto.
Itu terbukti kembali sepanjang tahun 2020, ketika dolar minus hingga 7 persen, Bitcoin menunjukkan tajinya kembali dan menembus resisten US$20.000 itu.
Ketiga, Koreksi Lalu Menguat Kembali. Bagi kami, koreksi harga Bitcoin setelah memuncak di lebih dari US$41 ribu pada awal Januari 2021 lalu adalah lazim, karena pemerintah AS mencoba kembali memulihkan ekonominya lewat stimulus US$3 triliun.
Ini, untuk sementara, dibaca sebagai penguatan dolar sesaat. Dan itu terbukti dengan anjloknya harga emas hingga 4 persen, lalu diikuti oleh terkoreksinya Bitcoin.
Seperti yang kami sampaikan pada artikel sebelumnya, bahwa stimulus jumbo itu berpotensi menguntungkan diapresiasinya Bitcoin di masa depan.
Namun sekali lagi kami tegaskan, stimulus besar itu pada dasarnya menambah pasokan uang baru di ekonomi AS, termasuk dunia, yang dalam jangka panjang justru melemahkan mata uang itu.
Lihatlah ketika stimulus jumbo kala Trump berkuasa, nilai dolar memang sempat naik, tetapi selama tahun 2020 nilainya jeblok di bawah garis nol (0) dan Bitcoin lebih diapresiasi.
Dengan kata lain, koreksi terhadap Bitcoin, akibat menguatnya dolar hanya bersifat sementara, karena pekerjaan rumah ekonomi AS masih banyak yang perlu “disetel”.
Toh, membanjiri ekonomi dengan uang tunai baru adalah beban di masa mendatang, ketika kita memahami dampak krisis 2008 pada prinsipnya tidak kunjung usai. Bertahanlah sejenak, karena kelak kita menuju harga Bitcoin baru. [ ● ]