Emas, Bitcoin dan Cadangan Uang Negara

Anda pasti tahu sendiri kehebatan emas, khususnya sebagai medium penyimpan nilai (storing value) yang amat penting dalam kehidupan manusia. Penyimpan nilai maksudnya, emas memberikan sejumlah manfaat yang tidak diberikan oleh jenis mineral lainnya, termasuk dibandingkan dengan uang dan saham, misalnya. Misalnya, jika Anda membeli emas 6 tahun berbobot 1 gram seharga Rp500.000. Tahun 2019 ternyata harga emas di pasaran berubah menjadi Rp600.000 per gram. Dalam 6 tahun ada kenaikan sekitar 20 persen. Rasio antara perbedaan harga itu adalah nilai, karena tidak ada pengurangan. Lagipula emas itu sifatnya likuid, dapat Anda jual kapan dan di mana saja, apakah di toko emas atau sekadar digadaikan di Pegadaian.

Sifat emas yang merupakan logam murni dan tak dapat berkarat dan ketersediaannya langka, adalah variabel lain dari nilai emas itu sendiri. Sifat langka adalah pula penentu kenaikan harga dan nilai di masa depan. Apakah harga emas dapat turun? Iya, jikalau dalam rentang waktu pendek, di bawah 5 tahun. Karena sifat emas itu pula, emas dapat digolongkan sebagai aset.

Sekali peristiwa, kriptografer ternama, Nick Szabo pernah menyebut, bahwa bank sentral pada akhirnya akan menggunakan Bitcoin sebagai mata uang cadangannya. Artinya Bitcoin menjadi penjamin (underpin) untuk hal lainnya yang punya nilai.

Bahkan Paul Ron, mantan anggota Kongres Amerika Serikat pernah menulis soal emas dan kripto dijadikan cadangan uang negara dalam The Dollar Dilemma: Where to From Here?. Katanya, ada sejumlah usaha yang sedang dilakukan untuk menggantikan uang fiat dolar menjadi emas atau kripto. Negara-negara lain bahkan berencana tak lagi menggunakan dolar AS sebagai cadangan mata uangnya.

Namun demikian, bukan berarti itu tak ada wacana kritis dari pihak lain. Dalam wawancara dengan belum lama ini, Analis dari Morningstar, Kristoffer Inton mengatakan, jika mata uang kripto dapat menggantikan emas dalam konteks investasi, maka akan berdampak pada harga emas itu sendiri.

“Sekitar 40 persen emas dunia terkait dengan investasi. Maka, peralihan investasi dari emas ke mata uang digital adalah bahaya bagi ekonomi global,” kata Inton memberikan pandangan kritisnya.

Felix Hartmann dari Hartman Capital mengatakan, Bitcoin adalah jembatan antara mata uang dan aset penyimpan nilai. Bitcoin memampukan mata uang fiat agar lebih lebih cepat dan fleksibel dari segi transfer. Bahkan memungkinkan bank sentral dan pemerintah menjadi lebih independen, termasuk menambahbaikkan kebijakan ekonomi makro, seperti pengendalian inflasi.

Gagasan mendasar soal blockchain yang memungkinkan transfer angka atau nilai lebih mudah, cepat dan aman daripada mengggunakan teknologi perbankan, membawa nuansa baru terhadap kripto secara umum. Sejumlah pihak berpikir, bagaimana kalau nilai kripto itu dipatok dengan ketersediaan emas. Ini yang kini dikenal dengan sebutan: “Gold-pegged stablecoins”. Perusahaan Novem misalnya membuat stablecoin yang dipatok emas. Perusahaan itu mengklaim memiliki emas dengan total bobotnya 35 kilogram. Emas itu bersertifikat dari London Bullion Market Authority (LBMA), yang disimpan oleh Loomis International. Dengan bobot itu, nilai emasnya setara dengan US$1.500.000 sebagai jaminan (collateral).

Tetapi yang pasti, regulasi dari masing-masing negara akan terus bertambah untuk mengawasi dan mengendalikan kripto yang berbasiskan aset fisik, termasuk Indonesia. []

 

Be the first to write a comment.

Your feedback