Hoax, AI dan Blockchain

Ada tiga hal yang tak dapat disembunyikan dalam waktu yang lama, yakni matahari, bulan dan kebenaran. ~ Siddhartha Buddha Gautama

Melawan hoax sama halnya dengan melawan sesuatu yang kita anggap sebuah kebenaran. Dan itu memang urusan sangat penting dan mendesak. Kebenaran dalam hal ini adalah sesuatu yang ditangkap oleh panca indera kita dan dapat dibuktikan. Kebenaran dalam sejumlah konteks juga disebut fakta. Media massa misalnya mengusung konsep, bahwa fakta adalah suci. Dan berita yang mengandung fakta adalah layak bagi kepentingan publik.

Dalam ranah kebudayaan kontemporer kita, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) kian mengepung kita. Informasi bak tsunami yang memporak-porandakan pikiran, logika dan emosi. Alih-alih cerdas memanfaatkan ponsel cerdas di tangan kita, tak jarang kita menyadari bahwa “jarimu adalah harimaumu”. Bukan lagi mulut.

Kecanggihan teknologi memang pisau bermata dua. Di satu sisi menyenangkan, di sisi lain meremukkan. Kecanggihan ditambah kelajuan pesan di dalamnya itu pula yang membuat masyarakat awam kian sulit membedakan mana informasi yang asli dan mana yang palsu. Saya pribadi sebagai praktisi TIK (atau dulu sering disebut telematika), harus mengakui, dengan segala teknologi yang bisa saya akses, saya agak kewalahan membedakan informasi benar atau imitasi, khususnya di media sosial.

Dalam beberapa titik bahkan hampir mustahil, khususnya yang melibatkan manipulasi foto, suara, bahkan video. Untuk foto kita tahu ada Photoshop yang dapat melakukan montase dengan mudah dan cepat. Bahkan, produsen Photoshop, yakni Adobe pada tahun 2016 sudah memperagakan apa yang mereka sebut sebagai “Photoshop-nya suara”. Dinamakan VoCo, peranti lunak itu secara cerdas dan presisi memanipulasi suara berdasarkan contoh suara yang ada. Jikalau misalnya dalam satu kalimat Anda mengatakan kata “no”, dengan VoCo kata, berikut suaranya dapat digantikan dengan “yes”. Dan itu dilakukan persis dengan karakter dan intonasi suara aslinya.

Teknologi seperti itu dimungkinkan ada, berkat kemajuan sistem kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Dalam sistem AI, mesin dibiarkan belajar sendiri berdasarkan perintah awal, dengan mengambil sejumlah database suara dari Internet. Kurang dari dua dekade dari hari ini, AI akan dipadupadankan dengan teknologi blockchain yang berkembang sejak Oktober 2008. Dengan teknologi blockchain data didistribusikan secara desentralistik, peer-to-peer, dan bersifat permanen dan mustahil diretas. Bayangkan data hasil AI itu masuk ke dalam blockchain lalu dianggap sebagai kebenaran sahih!

PricewaterhouseCoopers (PwC) dalam laporan tahun 2016, sekitar 67 persen eksekutif perusahaan meyakini AI akan membantu manusia dan mesin bekerjasama menggunakan kecerdasan manusia dan kecerdasan buatan. (*https://www.pwc.com/CISAI)

Maka, di masa depan kebenaran dan kepalsuan kian sulit dibedakan dan siap mengambil alih kehidupan kita (atau mungkin sudah). Pendorong utamanya adalah kemajuan teknologi itu sendiri, yang notabene datang dari dunia Barat dan sebagian lagi negara kuat dari Asia. Jadi, belajar tentang teknologi memang harus dari akarnya dan dipaketkan menjadi satu entitas pendidikan kepada masyarakat awam.

Lalu apa solusinya? Kecanggihan teknologi yang kita gunakan juga harus disertai dengan kecanggihan berpikir kritis, bukan apatis. Berpikir kritis dan meragukan segala hal mendorong kita bersikap bijak dan tidak mudah terpengaruh. Maka, kalimat: “melihat maka percaya” tidak selalu benar, karena panca indera manusia ada batasannya. Kita gantikan kalimat itu menjadi: “kritislah maka kita percaya”. Juga jadikanlah itu sebagai sebuah budaya, dilakukan berulang-ulang dan menjadi kebiasaan.  Jadi, kiat pertama adalah ragukanlah segala hal dan jangan mudah percaya, yang akan membuat Anda terperdaya.

 

Be the first to write a comment.

Your feedback