ICO Semakin Kusam?

Terkadang ada pemisah antara istilah aset digital dan Initial Coin Offering (ICO) yang menjual token kepada publik. Dalam sudut pandang kubu, aset digital punya pegangan berwujud regulasi atas nama keteraturan. Mungkinkah itu masuk ke kubu ICO?

Berasaskan data dari Crunchbase dan CoinSpeaker belum lama ini, kemunduran di kubu ICO memang sedang terjadi. Pasar tak lagi berminat menumpahkan dananya ke pasar.

Berdasarkan data dari ICORating, hingga kuartal ke-3 2018, ada sejumlah bukti yang menyokong asumsi bahwa ICO turun sangat besar. Laporan itu mencatat, bahwa ada sekitar US$1,8 miliar yang mampu ditangguk dari 597 proyek ICO. Padahal pada kuartal ke-2 jumlahnya mencapai 8,3 miliar. Rasionya jelas sangat jauh.

Bahkan, hanya 4 persen dari ICO yang benar-benar masuk ke bursa. Selebihnya berhenti setelah uang terkumpul. Investor sanggup gigit jari saja. Berdasarkan laporan itu pula terungkap, 57 persen proyek ICO tak mampu mengumpulkan dana hingga US$100 ribu. Anda ingin bilang pengumuman softcap mencapai ribuan dollar itu apa? Ini pertanyaan menggelikan jikalau Anda tahu sifat alamiah manusia untuk mendorong penciptaan nilai sebuah ICO. Anda bisa menyebut pengumuman itu sebuah penipuan, selama Anda tidak menemukan angka serupa pada transaksi ICO di blockchainnya.

Berdasarkan studi itu, ada empat penyebab utama ICO tak lagi menarik. Pertama, penipuan alias scam dan fraud yang mengatasnamakan kripto semakin banyak. Kedua, ketidakjelasan regulasi. Ketiga, beberapa ICO yang kerap diuungulkan justru nilainya tak naik-naik. Dan keempat, kekecewaaan dalam skala besar oleh pasar.

Khusus di Amerika Serikat, Komisi Sekuritas dan Perdagangan di sana semakin keras terhadap perusahaan rintisan untuk dapat “berjualan”. Bagi penyelenggara ICO, ini dilihat sebagai resiko besar untuk masuk lebih dalam.

Reputasi ICO juga semakin buruk, gara-gara semakin banyak penipuan, penyelenggara tidak sedikit yang lari dan menutup operasi penggalangan dananya. Ada banyak wujud soal ini. Mulai dari produk yang tidak jelas dan mengada-ada, membuat kode smart contract yang asal-asalan sehingga memunculkan peretasan, regulasi yang terlampau ketat, hingga wacana soal ICO yang mungkin digantikan dengan skema STO alias security token offerings.

Dan harap diingat, dalam konteks AS dan Tiongkok, soal fraud dalam ICO adalah prioritas utama mereka. Lihat Tiongkok yang menendang semua bursa kripto di sana, tetapi tidak dengan aktivitas penambangan dan inovasi blockchain. Alhasil startup menjualnya ke negara lain. Alasan Tiongkok masuk akal, yakni mencegah duit yuan ke luar dari dalam negeri.

Beberapa investor berskala perusahaan pun merasa lebih baik menanamkan modalnya (uang fiat) langsung ke perusahaan ICO daripada mengandalkan pembelian token di publik. Ini mungkin membuat mereka merasa lebih aman, walaupun resikonya tidak lebih besar daripada membeli token itu sendiri. Apakah ini juga mendorong melemahnya aktivitas ICO? Bisa jadi? []

Be the first to write a comment.

Your feedback