Keran Kripto untuk Iran

Tak ada yang lebih memantik perhatian ketika kita bicara kripto dan politik. Tatkala kripto bersinggungan dengan entitas laba rugi dalam skala global, di situlah ada entitas negara hadir. Lagipula, kripto yang fondasinya adalah teknologi blockchain bisa digunakan oleh siapa saja. Bagi negara yang mengira blockchain sebagai peranti efektif untuk keluar dari permasalahan pelik, peraturan yang sudah ada puan siap diterabas demi kemaslahatan rakyat.

Itulah yang terjadi dengan Iran, salah satu negara kaya minyak bumi di dunia. Setelah Amerika Serikat (AS) menarik diri dari perundingan anti nuklir Iran, negara super power itu menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Iran. Negara Islam di Timur Tengah itu dikucilkan dari layanan perbankan global, karena layanan teknologi SWIFT diblokir. SWIFT adalah teknologi transfer uang antar negara dan antar bank. Negara saling terkoneksi satu sama lain untuk mengirimkan uang secara cepat.

Pada 4 September 2018 lalu, Dewan Tinggi Siber Nasional Iran mengumumkan bahwa penambangan Bitcoin dan sejenisnya dapat dikategorikan sebagai bentuk industri yang setara dengan wujud bisnis lainnya. Inilah langkah terbaru Iran untuk membuka keran kripto yang agak longgar. Abolhassan Firouzabadi, Sekretaris Dewan Tinggi Siber Nasional Iran mengatakan kepada IBENA, bahwa pihaknya dan Bank Sentral Iran akan mulai bekerjasama untuk merancang kerangka kerja dan kebijakan untuk mengakomodir aktivitas perdagangan kripto. Tulis IBENA, media massa yang berafiliasi dengan Bank Sentral Iran itu, wacana tersebut setidaknya dapat rampung pada akhir bulan ini.

Khusus soal penambangan Bitcoin, jelas Firouzabadi, sudah mendapatkan pengkuan dari dari sejumlah kementerian di Iran, di antaranya Kementerian Teknologi Komunikasi dan Informasi, Bank Sentral, Kementerian Industri, Pertambangan dan Perdagangan, Kementerian Energi, termasuk Kementerian Ekonomi dan Keuangan. Namun demikian, hingga detik ini belum ada kebijakan khusus yang telah dibuat.

Firouzabadi menambahkan, Iran akan membuat kripto sendiri. Peluncuran kripto nasional Iran sangat menjanjikan dan dapat digunakan sebagai instrumen transaksi keuangan dengan mitra dagang Iran dan negara-negara sahabat lainnya, dalam kerangka tekanan sanksi AS. Wacana pembuatannya telah diumumkan pada Agustus lalu dan telah disetujui oleh Presiden Iran Hassan Rouhani. Deputi Direktur Dewan Tinggi Siber Nasional Iran diberikan tugas untuk membuat rancangannya.

Pengumuman resmi seperti ini tampaknya berlalu di permukaan saja. Selebihnya, secara logis, tanpa regulasi pun, praktik blockchain-kripto telah dilakukan. Pada awal Agustus 2018 misalnya Kementerian Teknologi Komunikasi dan Informasi Iran dan Perpustakaan Nasional Iran menandatangai kesepakatan dalam membuat sistem pustaka nasional berbasis blockchain. Kelak dengan sistem baru itu, beberapa koleksi pustaka digital nasional Iran dapat diakses secara global.

Iran pada Februari lalu, ide uang kripto digaungkan oleh Mohammad-Javad Azari Jahromi, Menteri Teknologi Komunikasi dan Informasi Iran. Jahromi mengaku kesemsen atas langkah Venezuela yang membuat Petro dan ingin mengikuti jejaknya yang dianggap “sukses”.

Faktor ekonomi dan politik adalah aspek yang paling menentukan perbedaaan pandangan dan penerapan terhadap kripto di masing-masing negara. Itulah sebabnya kecenderungan selama satu tahun belakangan, negara yang dilanda krisis ekonomi dan politik yang kurang baik, cenderung memiliki kripto sebagai instrumen bertahan dan melawan.

Secara politis, kini kripto dianggap dapat digunakan sebagai alat perlawanan yang andal terhadap hegemoni negara lain. Dominasi Amerika Serikat memang tak dapat dihindarkan, karena negara adi daya itu sejak akhir Perang Dunia II punya sejarah besar untuk “menguasai” negara-negara lain. Guru Besar Linguistik MIT ternama, Noam Chomsky misalnya menilai Amerika Serikat memberlakukan double standard dalam berbagai kebijakan ekonomi dan politik luar negeri. Ini, kata Chomsky, justru melahirkan dilema dan senjata makan tuan terhadapp Amerika Serikat.

Kisah ini kian menarik, ketika kuat dugaan ada Kremlin di belakang kripto Iran dan Venezuela. Dugaan itu dilemparkan oleh Yaya Fanusie, mantan analis CIA melalui tulisannya di Forbes. Tegas Yaya, kripto dua negara otoritarian itu tak akan mengubah apapun, sepanjang penggunaannya masih dikontrol oleh negara. [vins]

 

 

Be the first to write a comment.

Your feedback