Kripto: Tanda Tanya dari Bank Sentral

Sejak kehadiran Bitcoin, bank sentral praktis dibikin uring-uringan. Pasalnya, dalam sejarah manusia, inilah kali pertama kita memiliki sistem transfer sekaligus uang elektronik (murni). Posisi itu dirasa mengancam status uang fiat yang dunia terapkan sejak 1971. Karena diamankan dengan kriptografi, beberapa yang menyebutnya crypto (kripto), crypto-asset, digital asset, virtual money, crypto-money, electronic cash, bahkan sebagai komoditi. Yang terakhir ini kita rasakan di awal bulan ini, ketika Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI), menggolongkan kripto sebagai komoditi yang layak diperdagangkan di pasar berjangka (features) selayaknya emas, sawit dan minyak.

Kisah menarik terbaru datang dari Amsterdam, 5 Juni 2018 di Konferensi Money20/20. Pertemuan itu dihadiri oleh beberapa perwakilan Bank Sentral berbagai negara. Dalam satu sesi diskusi panel, perwakilan dari Swiss National Bank, Bank of Lithuania, Bank of England dan Bank of Canada menghadapi pertanyaan, “Apakah kripto dapat dikatakan akan mengakhiri dari uang fiat?”.

James Chapman dari Bank of Canada menjawab, ”Kripto merupakan ancaman terhadap uang fiat tatkala situasinya dalam inflasi luar biasa.” Thomas Moser dari Swiss National Bank setuju dengan Chapman, seraya menambahkan, kripto adalah ancaman nyata ketika uang fiat tidak berjalan semestinya. Senada dengan itu, kata Martin Etheridge dari Bank of London, ia tidak melihat kripto memiliki prospek meggantikan uang fiat.

Kisah itu adalah dinamika teranyar bagaimana bank sentral yang konservatif memandang kripto. Agak mendalam datang dari Ketua IMF Christine Lagarde pada medio Maret 2018 lalu. Secara tegas ia mengatakan akan meruntuhkan kedigdayaan bitcoin dengan teknologi asasnya, yakni blockchain. Ibarat cara memadamkan kebakaran hutan, Lagarde merasa api yang buas harus dipadamkan dengan api. Tak cukup dengan air segunung memadamkan cryptocurrency (kripto) itu. Fight fire with fire.

Lagarde bilang caranya begini: semua otoritas negara di dunia disarankan memanfaatkan keandalan teknologi bitcoin untuk meregulasi dan mengontrol terkait kripto. Kontrol yang dimaksud adalah mencegah perkembangannya menjadi surga bagi aktivitas ilegal, seperti pendanaan terorisme dan aksi pencucian uang.

Dan itupun telah dan sedang terjadi. Seperti dilansir dari Financial News, hari ini, Bank Sentral China (PboC) mengumumkan berhasil membuat cek digital berbasis blockchain. Sistem itu menggantikan cek berwujud kertas yang kita pakai hari ini. Kata mereka, cek digital itu memiliki token dan berjalan dengan sistem smart contract. Bagi Bank Sentral China, cek digital akan terasa lebih transparan dan mampu menghindari kecurangan.

Di pojok dunia lainnya, Bank Sentral Afrika Selatan (SARB) mengklaim telah menerapkan konsensus Proof-of-Concept (PoC) untuk membuat uang kripto. Sistem itu diperkuat dengan Quorum, distributed ledger technology (DLT) besutan JP Morgan.

Di tanah air, Bank Indonesia pernah berwacana kemungkinan akan membuat “rupiah kripto”, seraya melarang penggunaan kripto lainnya sebagai alat pembayaran. Ini logis,  karena harga kripto sangat volatil. Mustahil karyawan ingin digaji dengan kripto, ketika setiap bulan harganya menurun, sedangkan barang keperluan sehari-hari harganya relatif naik, karena terpatok uang fiat. Beberapa pengembang pun mencoba membuat blockchain yang sistemnya mampu meniru aturan kebijakan inflasi atau penargetan harga. Dengan cara itu diharapkan harga uang sebuah negara dalam wujud kripto dapat stabil.

Kita patut meyakini, kisah ini menambah daftar panjang kelajuan dan kemajuan blockchain, yang semula ditakuti oleh status quo. Bukankah secara alami, manusia memiliki mekanisme beradaptasi dengan lingkungan yang berubah? Ini akan semakin menarik, kita tunggu saja di episode berikutnya. [vins]

Be the first to write a comment.

Your feedback