Mengenal Deflasi dan Inflasi di Bitcoin

Teknologi blockchain Bitcoin menganut sistem deflationary monetary agar daya beli unit uangnya (BTC) menguat seiring waktu. Lantas bagaimana soal inflasi-nya?

Sistem deflationary monetary artinya mekanisme uang yang beredar sangat dibatasi sekecil mungkin dan secara bertahap dikurangi jumlah BTC yang baru.

Rata-rata setiap 10 menit, berdasarkan kode program di piranti lunak Bitcoin Core, terbentuk/diproduksi Bitcoin baru, yang diberikan kepada penambang sebagai imbalan (reward).

Imbalan itu sebagai pengganti dari biaya produksi atas modal pembelian alat tambang, termasuk biaya listrik dan lain sebagainya.

Berdasarkan kode program itu pula, ditentukan bahwa setiap 210.000 block imbalan kepada para penambang berkurang sebanyak separuh. Dengan kata lain, laju produksi alias jumlah pasokan Bitcoin berkurang. 210.000 block itu setara dengan 4 tahun.

Di awal peluncuran Bitcoin pada tahun 2009, BTC baru yang ditambang adalah 50 BTC setiap 10 menit. Berangsur-angsur setiap 4 tahun, berkurang separuh. Nah, sejak Mei 2020 BTC baru yang diproduksi hanya 6,25 BTC per 10 menit (rata-rata).

Kelak pada tahun 2024 hanya 3,125 BTC, begitu seterusnya hingga pada tahun 2140 semua Bitcoin habis ditambang dengan total 21.000.000 BTC. Sedangkan saat ini sekitar 18,6 juta BTC.

Secara sistem pasokan Bitcoin itu bersifat pasti, berdasarkan kode program yang sudah dituliskan. Hal itu mencerminkan pasokan BTC dari waktu ke waktu akan semakin langka.

Nah, objek yang langka dan sistemnya diyakini kukuh dan memiliki keunggulan dibandingkan objek lain, dianggap bernilai. Maka, jika semakin banyak orang yang membeli objek bernilai itu, maka harganya akan terus naik.

Itulah yang terjadi saat ini pada Bitcoin, harganya terus melejit, jauh melampaui imbal hasil emas, bahkan indeks saham S&P sekalipun.

Lantas apa hubungan mekanisme baku Bitcoin itu soal deflasi dan inflasi? Definisi umum inflasi dalam konteks ekonomi adalah ketika harga barang dan jasa naik dalam skala besar.

Inflasi bukan berarti buruk. Hanya saja, jika nilainya terlalu tinggi, maka bisa mengakibatkan kemerosotan ekonomi, di mana harga barang dan jasa tidak lagi terjangkau dengan nilai uang yang dimiliki manusia.

Inflasi juga didefinisikan sebagai penurunan daya beli mata uang tertentu dari waktu ke waktu. Katakanlah inflasi di Indonesia itu sekitar 3 persen per tahun. Itu artinya daya beli rupiah Anda terhadap barang dan jasa pada prinsipnya menurun 3 persen setiap tahun.

Itulah sebabnya, orang berinvestasi agar imbal hasilnya mampu melawan tingkat inflasi itu.

Gambaran nyatanya begini, jikalau pada 1 Januari 2020 Anda membeli emas batangan berbobot 1 troy ounce, lalu dijual pada akhir tahun 2020, maka imbal hasil investasi sekitar 28-30 persen.

Sedangkan Bitcoin pada periode yang sama, imbal hasilnya lebih dari 300 persen.

Jadi, jika dikurangi inflasi tahunan 3 persen pada rupiah Anda, maka Bitcoin lebih mampu melawan berkurangnya nilai uang Anda itu.

Di Bitcoin sendiri, hitung-hitungan tingkat inflasinya lebih mudah, karena sudah diprogram agar produksinya menjadi langka.

Per Mei 2020, ketika masuk Halving III, tingkat inflasi tahunan Bitcoin hanya 1,78 persen. Bandingkan dengan inflasi global secara tahunan (2009-2021), rata-rata yakni 3,56 persen. Ini bermakna daya beli (purchasing power) Bitcoin jauh melampaui fiat money di seluruh dunia.

Dengan demikian, setelah Halving IV pada tahun 2024, maka tingkat inflasi Bitcoin berkurang lagi, menjadi 0,84 per tahun.

Mengingat laju produksi Bitcoin sangat pasti dan mudah diverifikasi, karena bersifat terbuka, dibandingkan dengan emas, maka tidak keliru semakin banyak orang memilih Bitcoin sebagai instrumen investasi yang baik untuk melawan inflasi. []

Comments are closed for this post.