Menimbang Pajak Penghasilan Aset Kripto

pajak aset kripto di Indonesia

Pada awal pertengahan April 2021, Pemerintah Republik Indonesia mengusulkan Pajak Pertambahan Hasil (PPh) dari aset kripto. Wacana itu cukup kontroversial, mengingat perdagangan aset ini masih baru dan penggunanya berpotensi beralih ke bursa di luar negeri.

Kepala Badan Pengawan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Sidharta Utama juga mengatakan, usulan itu selaras dengan pembentukan bursa berjangka aset kripto di dalam negeri dan sudah terbentuknya 13 Pedagang Fisik Aset Kripto sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan dan Peraturan Babbebti sebelumnya.

“Pungutan pajak ini masih dikoordinasikan dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Bisa dalam bentuk pajak penghasilan (PPh) Final atau PPh pada umumnya atas capital gain (PPh orang pribadi). Kami sudah komunikasikan dengan Kemenkeu,” kata Sidharta kepada Kontan.co.id, Senin (19/4/2021).

Menanggapi hal itu, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) Teguh Kurniawan Harmanda mengatakan Bappebti sudah menyosialisasikan kepada pihaknya terkait pajak kripto.

Triv (PT. Tiga Inti Utama) adalah salah satu anggota di Aspakrindo sejak ia dibentuk pada tahun 2020.

Alhasil, Aspakrindo mengajukan skema PPh Final untuk transaksi mata uang digital tersebut. Adapun tarif yang diajukan sebesar 0,05 persen.

Angka tersebut lebih rendah dibandingkan pungutan PPh Final di bursa saham yang berlaku saat ini sebesar 0,1 persen.

Alasan Teguh, perdagangan kripto di Indonesia tebilang masih baru. Jika tarif PPh Final atas aset kripto 0,1 persen, maka akan membebankan investor dalam negeri.

“Sampai saat ini belum ada feedback pajaknya dalam bentuk apa. Kami berhadap tarif pajaknya jangan terlalu tinggi, dikhawatirkan investor malah akan berinvestasi kripto di channel yang ilegal, yang akhirnya malah membahayakan,” kata Teguh lagi.

Teguh membeberkan tahun lalu rata-rata volume transaksi aset kripto di Indonesia mencapai Rp40 triliun per bulan atau setara Rp480 triliun sepanjang tahun lalu.

Maka apabila menggunakan skema PPh Final sebesar 0,05 persen, kontribusi aset kripto terhadap penerimaan negara ditaksir mencapai sekitar Rp240 miliar.

Bahkan Teguh memprediksi di tahun 2024, transaksi kripto berpotensi menyumbang pajak hingga triliunan rupiah.

“Meski sekarang tidak seberapa tapi prospek kripto akan terus tumbuh. Kalau bisa pemerintah justru memberikan insentif fiskal agar pasar kripto di Indonesia bisa semakin besar dulu,” ujar Teguh.

Kesimpulannya hingga saat ini adalah, wacana beban pajak itu belum final dan usulan dari pelaku pasar belum juga disetujui.

Namun demikian, kisaran PPh Final 0,05 persen kiranya terhitung cukup adil, agar pengguna kripto di Indonesia memiliki sumbangsih terhadap negara. [triv]

Comments are closed for this post.