Menimbang XRP dan ETH

Kendati karakter Ripple (XRP) yang sentralistik sangat seru diperdebatkan. Faktanya sistem blockchain yang satu ini memang semakin membumi, karena digunakan oleh sejumlah bank dalam hal pembayaran lintas negara yang lebih mudah dan cepat.

Belum lama ini dikabarkan, bahwa VISA membeli sebuah perusahaan rintisan bernama Earthport senilai 250 juta USD. Perusahaan ini bergerak di bidang teknologi keuangan, yang juga merupakan mitra Ripple. Earthport diketahui menggunakan teknologi RippleNet pada layanannya dan mengembangkannya lebih lanjut.

Peristiwa ini kira menambah pengaruh Ripple sebagai teknologi pengiriman uang yang popular, yang jauh dari kesan panggung tempat beragam ICO dilakukan, sebagaimana yang kita temukan pada Ethereum.

Ripple sejatinya tahu benar dan memang fokus pada persoalan paling krusial di sistem perbankan: menjadikan proses pengirian uang dari 3-5 lima hari menjadi instan alias seketika dan murah.

Di atas kertas Ethereum dan Ripple sama-sama cepat dan murah jikalau dibandingkan dengan Bitcoin. Di titik ini, perbandingan dengan Bitcoin memang tidak relevan, karena Bitcoin secara “konsensus” ditempatkan di wilayah bukan sebagai alat pembayaran, tetapi sebagai aset selayaknya emas yang langka. Walaupun sebaliknya dimungkinkan oleh protokol Lightning Network, lapis kedua transaksi ini ditafsirkan sebagai upaya sentralisasi kekuatan Bitcoin sebagai aset kripto pertama di dunia.

Oleh sebab itu, dalam tulisan ini kita coba membandingkan antara Ethereum dan Ripple saja.

Jadi, konteksnya adalah soal performa. Antara Ripple dan Ethereum memang ada sejumlah perbedaan mencolok. Ketika Anda mengirimkan XRP diperlukan sekitar 4 detik sebelum transaksi terverifikasi. Sementara itu Ethereum hanya mampu dalam 16 detik. Artinya blockchain Ripple 4 kali lebih cepat daripada Ethereum. Dalam sudut pandang pebisnis keuangan, angka terkecil adalah pilihan tepat,yakni Ripple.

Dengan tingkat volatilitas harga masing-masing kripto, soal biaya kirim akan tampak berbeda dengan rentang waktu yang berbeda pula. Ripple membebankan biaya kirim standar sebesar 0,00001 XRP untuk setiap transaksi, berapapun jumlah dana yang Anda kirimkan. Bahkan ketika XRP mampu naik ke 3,29 USD per XRP pada awal 2018, biaya kirim hanya 0,0000329 USD atau sekitar 0,48 rupiah saja @14.500 rupiah per USD.

Dalam khasanah Ethereum, hanya mampu memproses 15 transaksi per detik. Bandingkan dengan Ripple yang mampu hingga 1500 transaksi per detik.

Dengan perbandingan kemampuan yang signifikan dimenangkan oleh Ripple, tak salah memang industri keuangan khususnya sektor pengiriman uang lintas negara adalah sasaran empuk teknologi Ripple.

Memang secara kendali sistem, antara Ethereum dan Ripple berbeda. Jikalau Ethereum sangat bergantung pada konsensus di antara developer yang berbeda-beda dan kode sumbernya yang terbuka, termasuk proses transaksi olen miner yang terdistribusi global, maka Ripple memanglah sentralistik. Sebab setiap perubahan pada sistem dapat langsung oleh perusahaan secaraa langsung, yakni Ripple sendiri.

Kendali sentral lainnya adalah, pada Juli 2018 ada sekitar 60 miliar XRP yang bersirkulasi dari 100 miliar jumlah maksimal. Nah, masalah utamanya adalah sekitar 40 miliar di antaranya (40 persen) disimpan dan dikontrol oleh Ripple. Lalu, dalam skenario terburuk, andaikata perusahaan Ripple bermasalah dan memaksa Ripple menjual XRP-nya dalam jumlah besar. Yang terjadi sangatlah buruk, yaitu turunnya harga XRP di pasar terbuka dan memaksa lebih banyak orang untuk menjual XRP-nya. []

 

Be the first to write a comment.

Your feedback