Modal Rp80 Juta sebagai Validator Ethereum 2.0

Di ajang pertemuan para developer Ethereum di Osaka beberapa waktu lalu, Ethereum dipastikan akan hijrah menggunakan algoritma konsensus Proof-of-Stake (PoS), meninggalkan Proof-of-Work (PoW). Alasannya tentu saja adalah soal keamanan, kecepatan dan efisiensi yang berlipat-lipat yang bisa dicapai dengan metode PoS.

Vitalik Buterin menyebutkan, kehadiran Ethereum 2.0 itu setidaknya pada Februari atau April 2020. Dengan demikian, tidak ada lagi istilah miner (penambang) dan digantikan oleh validator (staker) yang melakukan staking Ether (ETH) sebanyak-banyak di komputer server. Dengan kata lain VGA dan perangkat ASIC mining akan digantungkan dan cukup digantikan dengan komputer biasa tetapi tidak berspesifikai sangat tinggi pada metode mining.

Penampakan umumnya bisa jadi akan serupa dengan sistem Delegated Proof-of-Stake (DPoS) pada EOS ataupun Tron. Validator, yang peran dan fungsinya sama dengan mining, yakni menemukan blok transaksi, hanya cukup menyewa VPS (Virtual Private Server) atau layanan cloud, menyimpan (staking) Ether sebanyak mungkin dan berlomba dengan validator lainnya.

Hingga saat ini kurang jelas, apakah Ethereum 2.0 ini akan menggunakan metode dPos seperti pada EOS dan Tron, atau murni PoS saja. pada DPoS, hanya sejumlah kecil validator saja yang diizinkan (mewakili) untuk menkonfirmasi blok. Mereka harus merebut posisi teratas tertentu, misalnya 21 besar agar bisa memvalidasi blok. Ketika berada di bawah 21, maka dia tersingkir sementara dan merebut posisi 21 besar di waktu lainnya. Dalam proses itu berlaku pula sistem voting dari pengguna Ether lainnya kepada Super Representative itu dan mendapatkan imbalan.

Kelebihan PoS dan DPoS tentu saja lebih murah soal pengadaaan infrastruktur, yakni komputer VPS ataupun cloud. Tidak seperti pada mining yang memerlukan hingga ratusan juta akan mendapatkan imbalan yang besar, belum termasuk biaya listriknya. Sebab, sistem mining fokus pada VGA berspesifikasi tinggi dan mengonsumsi listrik yang besar pula.

Dalam PoW, miner diberikan imbalan berupa aset kripto jika dia bisa menjawab dengan benar. Kebalikannya di PoS ataupun dPoS, validator mendapatkan denda (punishment), jika menjawab dengan salah. Artinya, mereka sebenarnya sama-sama harus menjawab dengan benar kalkulasi pada masing-masing blockchain, hanya alur imbalannya yang berbeda. Jadi, pada PoS, validator yang curang atau menjawab salah, maka jumlah Ether yang disimpannya akan berkurang. Dan sebaliknya, benar, maka Ethernya akan ditambahkan.

Jadi, misalnya Anda memiliki Ether sebanyak 1 persen dari semua Ether yang beredar, maka Anda berhak memvalidasi 1 persen dari keseluruhan transaksi dan kelipatannya. Selain itu, semua validator akan mendapatkan imbalan Ether setiap tahun sebesar 4-10 persen per tahun dari jumlah Ether yang dimilikinya.

Collin Myers, Kepala Strategi Produk Global di ConsenSys, pada ajang Devcon 5 di Osaka, menyebutkan agar menjadi validator pada jaringan Ethereum 2.0, validator harus memiliki saldo minimal 32 Ether (ETH), atau sekitar US$5.760 (Rp80 juta) dengan kisaran harga saat ini. Namun, kita belum tahu spesifikasi komputer VPS atau Cloud yang digunakan sebagai validator dan berapa imbalan yang diperoleh.  Sebagai gambaran untuk biaya sewa VPS per bulan termurah dan terbaik saat ini di kisaran 1-2 juta rupiah per bulan. Artinya imbalan sebagai validator Ethereum harus berada di atas angka itu.

Paling tidak, saat ini kita ketahui, bahwa Ethereum kelak hanya menganut sistem PoS bukan dPoS. Kalau menganut dPoS, kendati bisa lebih cepat dalam penangangan ribuan transaksi, dPoS terkesan terlalu elitis, karena diserahkan kepada sejumlah kecil perwakilan validator, walaupun mereka berlomba untuk masuk ke peringkat terbesar.

Dengan PoS murni ala Ethereum, nanti, semua pihak dapat terlibat langsung sebagai validator. Cukup dengan dua cara ini, sewa VPS ataupun layanan Cloud dan simpan (staking) Ether sebanyak mungkin dan mendapatkan imbalan berupa Ether. [*]

Be the first to write a comment.

Your feedback