Pakai Blockchain, 3 Negara Ini Kurangi Ketergantungan Terhadap Dolar AS

Saat ini masih banyak negara di dunia, termasuk di Indonesia, sangat tergantung pada uang dolar AS. Dan ini berlangsung selama puluhan tahun. Selain digunakan untuk perdagangan luar negeri, uang dolar AS juga digunakan sebagai cadangan devisa sebuah negara, guna menjamin kestabilan ekonominya. Tak heran, nilai dolar AS terus tinggi terhadap mata uang negara lain, kendati tingkat inflasi uang dolar itu sendiri sudahlah tinggi. Negara lain mencoba mengatasi itu, salah satunya adalah dengan menerbitkan versi digital mata uangnya, menggunakan teknologi blockchain.

Indonesia sendiri mencoba mengatasi ketergantungan terhadap uang dolar itu, tetapi belum memanfaatkan blockchain. Salah satunya adalah kesepakatan antara Bank Indonesia (BI) dengan Bank Sentral Singapura (MAS) pada Oktober 2018 lalu dan dilanjutkan pada awal November 2019 ini selama setahun ke depan. Dengan Malaysia dan Thailand juga sudah dilakukan sebelumnya.

Indonesia terus mencoba mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Caranya adalah dengan mempromosikan penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan luar negeri.

“Kerja sama yang disepakati November 2018 ini memungkinkan kedua bank sentral untuk dapat mengakses likuiditas mata uang asing antara kedua bank sentral, jika diperlukan, untuk menjaga stabilitas moneter dan pasar keuangan,” sebut keterangan tertulis BI yang diterima Selasa (5/11/2019), seperti yang dilansir dari CNBC Indonesia.

Menurut BI, kerja sama dengan MAS meliputi dua area yaitu, pertama Perjanjian swap bilateral mata uang lokal (Local Currency Bilateral Swap Agreement/LCBSA) yang memungkinkan dilakukannya pertukaran mata uang lokal antara kedua bank sentral dengan total nilai setara US$7 miliar (SG$ 9,5 miliar atau Rp100 triliun).

Kedua, perjanjian repo bilateral dalam valuta asing (Bilateral Repo Line/BRL) senilai US$3 miliar, yang memungkinkan dilakukannya transaksi repo antara kedua bank sentral untuk mendapatkan likuiditas dolar AS dengan menjaminkan obligasi pemerintah AS, Jepang, dan Jerman.

Melalui kerja sama semacam ini, Indonesia dan Singapura bisa mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS dalam hal perdagangan antar negara. Bank sentral menyediakan fasilitas mata uang lokal bagi dunia usaha, sehingga tidak perlu menggunakan dolar AS.

Mata uang dapat pula digolongkan sebagai aset. Itulah sebabnya jika kerjasama itu baik hasilnya, maka semakin banyak dan luas rupiah digunakan, maka nilainya akan terdongkrak dan tentu saja dolar Singapura juga.

MAS sendiri memang sudah menjajal teknologi blockchain untuk transaksi lintas negara menggunakan stablecoin khusus yang secara umum disebut dengan Central Bank Digital Currency (CBDC). Pada ujicoba tahap keempat bulan lalu, memang tidak disebutkan apakah nilai stablecoin itu bersatuan dolar AS atau tidak.

Blockchain dan Tiongkok
Namun, usaha-usaha penerbitan uang digital berbasis blockchain lebih masif dilakukan oleh Tiongkok, sebab negara itu kian mendominasi perdagangan dunia, berhadapan dengan Amerika Serikat.

Saat ini, seperti negara lain, perdagangan internasional oleh Tiongkok, tetap juga menggunakan satuan dolar AS. Tiongkok merasa keunggulan ekonomi mereka harus dibarengi dengan kekuatan mata uang mereka sendiri di tingkatan global.

Di sinilah, menurut Tiongkok, teknologi blockchain berperan besar sebagai sistem uang elektronik baru. Tonggak baru itu ditabalkan pada 25 Oktober 2019 lalu, melalui pidato Presiden Tiongkok Xi Jinping. Dia bilang bahwa teknologi blockchain harus diusung dan digunakan demi kemakmuran bangsa.

Sang presiden tak keliru, karena negara itu telah memulai penelitian terhadap blockchain sejak tahun 2014 dan mendapati keuanggulan di dalamnya, yakni murah, lebih mudah dilacak dan berlaku secara global. Akan jauh lebih mahal jikalau mencetak uang kertas yuan fisik itu. Dengan kemudahan teknologi blockchain pula, uang yuan versi digital dapat lebih mudah ditransaksikan ke negara mana saja, tanpa melalui jaringan transfer uang, seperti SWIFT. Jadi, cukup menggunakan protokol di blockchain dan dibantu Internet, semudah mengirimkan Bitcoin.

Bagaimana dengan Rusia? Rusia hingga saat ini adalah oposisi terhadap negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat dan Rusia juga mencoba sejak lama lepas dari ketergantungan dolar AS. Bagi Rusia, dolar AS kerap digunakan sebagai cara untuk menghadang Rusia.

Rusia
Rusia, misalnya, menerbitkan obligasi berdenominasi yuan, yang bisa menjadi perisai dari tarif dan sanksi AS. Penerbitan obligasi yuan telah direncanakan sejak 2016 dan diharapkan akan diterbitkan pada akhir tahun ini atau awal 2020. Hal itu  akan menandai pertama kalinya bahwa Rusia menerbitkan utang negara dalam mata uang Tiongkok.

Namun, soal penerapan blockchain Rusia masih kalah dengan Tiongkok, karena masih mematangkan undang-undang terkait dengan itu pada tahun ini. Artinya kelak, Rusia pun akan membuat versi digital rubel berbasis blockchain dan mencoba keluar hegomoni dolar AS.

Langkah ini karena perubahan lanskap politik global untuk Tiongkok dan Rusia yang telah mendorong kedua negara ke dalam kemitraan yang lebih dekat. Ini adalah langkah yang jelas untuk mencegah kekuatan dolar dari menyakiti Tiongkok dan kepentingan nasional Rusia dan juga merupakan jembatan bagi investor kedua negara ini.

Rusia telah secara progresif mengurangi bagian mata uang AS dari cadangan internasionalnya dalam setahun terakhir, meningkatkan kepemilikan emas, yuan dan euro.

Yuan Tiongkok telah melihat peningkatan terbesar dalam cadangan devisa Rusia melonjak dari 5 persen menjadi lebih dari 14 persen. Euro telah menyumbang lebih dari 30 persen sementara cadangan emas telah mencapai lebih dari 18 persen kepemilikan internasional Rusia.

Namun demikian, walau mencoba lepas dari Dolar AS, Tiongkok sebenarnya hanya mengalihkan cadangan devisanya menggunakan mata uang lain, seperti  poundsterling, yen dan euro, termasuk emas. Berkurangnya ketergantungan pada kondisi keuangan dolar AS dapat menawarkan lebih banyak ruang bagi Tiongkok untuk memainkan peran yang lebih besar di panggung global.

Di atas itu semua, Tiongkok dengan blockchain-nya, oleh Bank Sentral Tiongkok yang menerbitkan yuan digital. Hal itu guna mendorong penggunaan yuan di seluruh dunia untuk melindungi kedaulatan valuta asingnya. Memiliki mata uang digital seperti itu memungkinkan Tiongkok untuk lebih baik memantau intervensi pasokan moneter dan mencegah korupsi dan pencucian uang.

Mungkin aspek yang paling menarik dari uang digital yuan itu adalah sebagai cara untuk mendistribusibusikan yuan secara gloabal oleh Bank Sentral Tiongkok dan bank komersial melalui mekanisme, di mana yuan dapat digunakan dalam transaksi sehari-hari di seluruh dunia dan landasan untuk “internasionalisasi yuan” lewat program ambisius Tiongkok, yakni One Belt One Road.

Keputusan strategis yang diambil oleh Tiongkok dan Rusia dapat memiliki efek penyeimbangan kembali pada kekuatan dan pengaruh AS di pasar keuangan global. “De-dolarisasi” telah menjadi proses berkelanjutan yang dapat mengurangi dominasi dolar AS secara global dan melihat kenaikan mata uang lain seperti yuan sebagai representasi yang lebih baik dari terhadap negara-negara berkembang.

Turki pun Turut Serta
Langkah Tiongkok tampaknya menjadi daya tarik bagi negara lain, termasuk Turki, yang juga negara oposisi terhadap Amerika Serikat. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan baru-baru ini mengarahkan bahwa pemerintah harus menyelesaikan CBDC pada tahun 2020.

Lira versi digital akan dibuat berbasis blockchain, direncanakan akan dikeluarkan oleh Bank Sentral Turki sesuai dengan Program Presidensial Tahunan 2020. Erdogan mengatakan, bahwa bersama bank sentral, proyek ini juga akan melibatkan badan inovasi teknologi nasional, TUBITAK. Lira digital itu adalah bagian dari tujuan negara untuk memperkuat ekonomi lokal.

“Tujuan utama adalah untuk membangun sektor keuangan dengan struktur kelembagaan yang kuat yang dapat menanggapi kebutuhan pembiayaan sektor riil dengan biaya rendah, menawarkan instrumen keuangan yang berbeda kepada basis investor yang luas melalui lembaga yang dapat diandalkan dan mendukung tujuan Istanbul untuk menjadi sebuah pusat keuangan global yang menarik, ” sebut Erdogan.

Ke depan, berkat keunggulan teknologi blockchain, akan lebih banyak negara lain yang lompat ke teknologi ini. Efisiensi yang tinggi, jelas menghadirkan tingkat kegunaan yang tinggi pula, termasuk dominasi. Akan Indonesia juga ikut? [*]

Be the first to write a comment.

Your feedback