Pendadaran Blockchain Pertanian

Setelah lama tak bersua, belum lama ini kami menerima telepon dari seorang sahabat lama. Kebetulan ia adalah dosen agribisnis di sebuah perguruan tinggi di Medan. Setelah dia tahu kami berkecimpung di bisnis blockchain lalu tahu potensinya di bidang pertanian, perbincangan itu memantik rasa ingin tahu di kedua belah pihak. Pasalnya, kami sendiri tidak terlalu paham soal bidang pertanian di Indonesia yang katanya carut marut, dan sang dosen sendiri baru kali ini mendengar jargon blockchain.

Singkat kata, setelah sahabat memahami konsep dasar blockchain untuk bidang pertanian, yakni pada sistem rantai pasokan (supply chain), ia dengan cepat berkomentar agak “miring”. Dia bilang, masalahnya para petani di tingkat bawah, yang bukan petani berdasi, tidak memiliki kecakapan menggunakan teknologi terkini untuk memaksimalkan hasil panennya. Bagaimana mereka mampu memahami teknologi blockchain ini, jikalau menggunakan Internet untuk mencari informasi harga pupuk saja mereka tidak tahu. Itupun dengan anggapan ada sambungan Internet yang bagus di pelosok pedesaan.

Mendengar kalimat singkat itu, kami senyap selama beberapa detik. Seolah-olah penjelasan kami soal teknologi nan canggih blockchain tampak jumawa, karena melupakan aspek penting yang terjadi selama bertahun-tahun di negeri ini: literasi teknologi petani. Maksud sang dosen adalah, perlu pendidikan yang lebih kental dan tepat soal bagaimana menggunakan teknologi informasi pertanian, terlepas dari apapun bentuk teknologinya. Jadi, katanya, kendati teknologi blockchain dengan segala janji efisiensinya akan percuma jikalau petani kelas bawah sendiri menemui kesulitan menggunakannya.

Aspek edukasi dan penyederhanaan penggunaan teknologi tentu tak dapat dihindari, khususnya yang menyasar pada kaum petani yang notabene memilliki tingkat pendidikan yang rendah. Kendati itu relatif terhadap penguasaan teknologi informasi, kemudahan menggunakan perangkat dan pengiriman serta akses informasi adalah teramat penting.

Ini ditegaskan oleh Walmart ketika kemarin mengumumkan akan menggunakana blockchain untuk urusan rantai pasokan sayur mayur, dari petani sampai ke etalase gerai mereka yang banyak. Sistem yang kini sedang dikembangkan Walmart dirancang agar bisa mengakomodasi petani di banyak tingkatan pengalaman teknis. Ini bermakna penggunaan teknologi akan berbeda antara petani kelas terbawah dan kelas berdasi. Kata Walmart lagi, petani diharapkan akan menggunakan semacam perangkat khusus, mungkin bisa diintegrasikan dengan smartphone untuk mengumpulkan dan mengirimkan informasi yang diperlukan. Termasuk tentu saja mempertimbangkan ketiadaan akses internet yang di desa. Dan jikalau pun ada, dipastikan dapat dinikmati secara gratis.

Pilihan blockchain di sistem rantai pasokan pada bidang apapun menjadi pusat perhatian banyak perusahaan. Lagi-lagi motifnya adalah efisiensi biaya, keamanan dan keakuratan data, yang tidak dimiliki teknologi yang ada sebelumnya. Namun, jalan blockchain ini masih panjang, perlu pendalaman yang tidak mudah, khususnya yang belum terpecahkan adalah masalah interoperability, di mana beberapa layanan blockchain yang berbeda dapat terintegrasi satu sama lain. Situasi saat ini serupa dengan situasi beberapa dekade yang lalu, di mana peranti lunak yang bisa berjalan di Windows tidak bisa berjalan di Mac atau Linux. [vins]

Be the first to write a comment.

Your feedback