Perang Cloud, Perang Blockchain

Pada 29 Oktober 2018, akhirnya Internationl Business Machine (IBM) sepakat membeli 60 persen saham Red Hat (perusahaan pembuat Linux yang berbasis di Amerika Serikat) bernilai total lebih dari Rp517 triliun. Oleh IBM, langkah ini dinilai sebagai langkah besar perusahaan yang berusia lebih dari 100 tahun itu. Motif dasar pembelian ini tak lain tak bukan untuk membetot teknologi cloud computing IBM. RedHat sendiri memiliki teknologi cloud sendiri.

Terkait hal tersebut, IBM mengklaim penggabungan dua usaha ini akan membawa Red Hat ke pasar pengguna yang lebih bervariasi, dengan membuktikan komitmen bisnis perusahaan berbasis open-source itu ke lebih banyak khalayak. Di sisi lain, IBM berharap kesepakatan ini akan senantiasa membantu mengejar ketinggalan dari Amazon, Alphabet dan Microsoft dalam bisnis cloud yang berkembang pesat belakangan ini.

Keputusan IBM sangat beralasan, mengingat pangsa pasar cloud setiap tahun meningkat. Pada April lalu Gartner memrediksi pendapatan produk khusus public cloud secara global akan meningkat 21,4 persen pada tahun ini dari US$153,5 miliar ke US$186,4 miliar. Bisa jadi IBM melihat akuisisi ini sebagai sebuah kesempatan untuk mengerek harga sahamnya. Walaupun dari segi pendapatan, Red Hat kalah jauh dengan IBM, namun di Bursa Saham New York, saham IBM telah kehilangan hampir sepertiga dari nilainya dalam lima tahun terakhir, sementara saham Red Hat naik 170 persen dibandingkan periode yang sama dengan IBM.

Pertumbuhan tercepat datang dari infrastructure as a service (IaaS), yang diprediksi melaju di 35,9 persen pada tahun 2018 menjadi US$40,8 miliar. Gartner memprakirakan 10 perusahaan penyedia cloud akan terus menggapai pasar IaaS ini mencapai 70 persen pada tahun 2021 atau naik 50 persen berbanding tahun 2016. Gartner juga menyoroti pertumbuhan software as a service (SaaS) bertumbuh lebih cepat daripada jenis produk cloud lainnya, mencapai 73.6 miliar pada 2018 dan sangat mungkin meningkat menjadi US$117.1 miliar pada tahun 2021.

Soal peringkat, IBM masih berada di 10 besar perusahaan penyedia cloud. Berdasarkan data dari Technavio, IBM berada di peringkat ke-4 dengan Microsoft menduduki singgasana puncaknya. Di belakang Microsoft berturut-turut adalah Amazon dan Salesforce.com. Kemudian, setelah IBM, menyusul Google, SAP, Oracle , Workday, ServiceNow dan Vmware.

Terkait teknologi blockchain, maka sangat masuk akal pertumbuhan pasar cloud akan bertumbuh lebih cepat lagi. Itulah sebabnya tak heran ada IBM di balik teknologi Hyperledger yang dikelola oleh Linux Foundation. Hyperledger kini banyak digunakan oleh perusahaan lain, belum termasuk kerjasama lintas perusahaan global, seperti yang dilakukan oleh Alibaba Cloud yang mengintegrasikan teknologi cloud miliknya sendiri ke dalam Hyperledger.

Cloud dalam konteks blockchain tentu saja menyediakan infrastruktur node jaringan peer-to-peer yang lebih kokoh. Walaupun dipandang berkarakter sentralistik oleh pegiat blokchain konservatif, setidaknya blockchain yang sentralistik ini memberikan pilihan lain kepada perusahaan-perusahaan besar agar lebih efisien menjalankan bisnisnya.

Dengan blockchain di cloud, maka data transaksi pengguna dipecah menjadi sejumlah kecil data. Data itu kemudian dienkripsi beberapa kali dan ditambahkan pada satu lapisan keamanan khusus lalu didistribusikan ke dalam jaringan secara acak ke dalam beberapa komputer (node) yang berbeda. Mekanisme itu dilakukan dengan menggunakan fitur cryptographic hash functions dan public/private key encryption.

Sejatinya, permintaan cloud yang semakin besar dan didorong oleh “keinginan luhur” menerapkan blockchain, ini adalah perang cloud yang nyata. Bukan masalah “winter is coming” saja, tetapi bagaimana perusahaan-perusahaan besar yang sentralistik itu mampu berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat kecil. Karena perang sejatinya tidak bermanfaat bagi siapapun, yang perlu dipikirkan juga adalah adopsi nyata bahwa pihak ketiga dalam transaksi apapun, selalu tidak menguntungkan wong cilik.

 

Be the first to write a comment.

Your feedback