Quo Vadis Bitcoin?

Judul artikel ini memang harus “menembak” Bitcoin sebagai moyangnya uang digital non-sentralistik, kendati yang uang elektronik lainnya setelah Bitcoin masih doyan dikontrol oleh satu entitas tertentu. Anda bisa menggantikan kata Bitcoin pada judul itu menjadi kripto agar tembakannya lebih luas.

Hari ini kita menyaksikan harga Bitcoin dan pasar kripto secara utuh ambruk seambruknya, setidaknya dalam satu tahun terakhir. Tentu Anda masih ingat cara Anda menjilati cuan ketika Bitcoin memuncak pada tahun lalu, hingga melempem pada medio Desember 2017. Harga Bitcoin hampir US$20 ribu per unit tentu membuat dunia terperangah. Betapa tanpa peran negara sebagai pengendali moneter, ada sesuatu yang sangat bernilai, setidaknya kalau memakai perbandingan dengan nilai pasar saham di Wall Street. Ini untuk kali pertama dalam sejarah peradaban manusia, kita punya aset yang tak berwujud dan laku secara global. Terima kasih, Internet!

Itu pula yang memaksa Anda mencari pencerahan atas pertanyaan yang membuncah di benak Anda. Kenapa? Apa pasal? Setidaknya ada memiliki role model sebagai alasan, katakanlah dari sejumlah pakar.

Kemarin, CEO Genesis Trading Michael Moro memrediksi Bitcoin akan longsor sampai US$3 ribu setelah seminggu terakhir harganya mencapai titik rendah US$4.035.

Berkomentar kepada CNBC, Moro berpendapat, level dukungan US$4 ribu tidak akan bertahan lama lagi akibat tekanan jual dari investor Bitcoin pra-2017 yang menjual simpanan mereka di tengah harga yang semakin menurun.

Berdasarkan pengalamannya di Genesis, Moro memberikan alasan soal mengapa Bitcoin sedang berada dalam tekanan jual yang begitu hebat saat ini. Investor yang memasuki pasar kripto sebelum atau semasa bull market akhir 2017 biasanya menjual simpanan mereka di awal 2018 untuk mencegah rugi atau mengambil untung. Tetapi, investor lebih awal yang membeli Bitcoin di 2016 sekarang mulai melikuidasi posisi mereka untuk meraup cuan selagi masih bisa.

Moro juga mengutarakan keyakinannya bahwa kondisi saat ini bukan berarti kematian bagi Bitcoin. Kendati volume perdagangan Bitcoin merosot 60 persen dibanding bull run 2017, volume tersebut masih berkali lipat lebih tinggi dibanding awal 2017. Oleh karena itu, Moro menyarankan untuk melihat Bitcoin dalam konteks waktu jangka panjang.

Argumen lebih masuk akal datang dari Stephen Innes. Kepada Bloomberg dia bilang Kendati pasar kripto kehilangan nilai hingga 70 persen, Stephen Innes dari Oanda belum melihat ada bukti kuat yang kelak menunjukkan ada lantai agar harga memantul.

“Masih banyak pemain di dunia kripto ini. Jika ada indikasi Bitcoin jatuh ke US$3.000, ini  akan sangat mengerikan. Akan lebih banyak lagi yang menjual asetnya,” kata Innes kepada Bloomberg, Jumat (23/11).

Berdasarkan prakiraan Innes, harga Bitcoin bisa jadi menclok di US$2500, jikalau dalam rentang waktu pendek, perdagangan hanya berlangsung antara US$3.500 dan US$6.500 per BTC.

Logika bisa Anda alamatkan ke sudut pandang yang lain, bahwa dalam skala industri, kripto bukanlah semata aset yang Anda jual belikan, tetapi soal investasi terhadap teknologinya, yakni blockchain. Membicarakan blockchain bukan membicarakan imbalan dan cuan, tetapi kacamata bervisi panjang. Itulah sebabnya, ketika harga kripto terdesak, investasi  dan inovasi terhadap Bitcoin justru meningkat. Lalu, mungkinkah investor Bitcoin dari masa lalu telah menjual kriptonya  dan mengalihkanny ke investasi di lintas industri? Ya, bisa jadi. Mengapa tidak, kalau Anda sadari bahwa bicara blockchain Anda bisa mendapatkan cuan selain trading yang spekulatif.

Menempatkan diri ke sudut pandang investor yang berduit banyak memang tak mudah. Semangat investor dalam jangka panjang, bukan pendek mencari cuan sesaat, tetapi cuan yang lebih bersahabat, lebih bernilai dan estetik. Di pihak mana Anda ingin terbawa? []

 

Be the first to write a comment.

Your feedback