Vitalik Buterin, Si Jenius di Balik Ethereum

Usianya baru 25 tahun, tetapi kejeniusannya membuat Vitalik Buterin dikenal sebagai salah satu developer blockchain kelas wahid saat ini. Oleh Fortune.com pada tahun 2016, ia menempati peringkat ke-31 sebagai orang muda berpengaruh di bawah usia 40 tahun. Vitalik adalah perancang utama Ethereum, platform blockchain open source dan kripto terbesar ke-2 dunia setelah bitcoin.

Walaupun teknologi blockchain dan bitcoin diperkenalkan oleh Satoshi Nakamoto (nama samaran) pada tahun 2008, Vitalik baru mengenal bitcoin pada Februari 2011 dari sang ayah, Dmitry Buterin. Dmitry mengatakan kepada Buterin, bahwa bitcoin ini sangat luar biasa dan sedang mengubah sistem keuangan dunia. Awalnya Vitalik tidak terlalu menanggapi, ia lebih memilih “tenggelam” dengan game World of Warcraft. Lagipula Vitalik merasa tidak seperti ayahnya yang liberatarian. Beberapa minggu berikut, ia justru penasaran dan mencari tahu apa itu bitcoin, hingga ia berkesimpulan apa yang ia temukan itu memang sangat unik dan menantang. Di masa itu ia justru tidak terlalu memperhatikan mekanisme blockchain, yang sebenarnya fondasi besar atas apa yang kelak dibuatnya pada Ethereum.

Masa kecil Vitalik sangat menarik. Ia tidak banyak menghabiskan waktunya bergaul dengan anak-anak lain seusianya. Ia tumbuh besar bersama kakek dan neneknya, sementara kedua orangtuanya menempuh studi ilmu komputer di sebuah universitas di Moskow beberapa tahun sebelum Uni Soviet pecah. Salah satu mainan favorit Vitalik adalah Lego. Jikalau anak-anak biasa menggunakan lego untuk membuat miniatur menara, hewan, atau manusia, Vitalik justru membuat angka-angka. Ketika Dmitry memperkenalkannya komputer pada usia 4 tahun, Vitalik langsung tertarik dan menjadikan Excel sebagai mainan kegemarannya.

Setelah Dmitry bercerai dengan istrinya, ia pindah ke Toronto, Kanada pada tahun 1999. Vitalik menyusul beberapa bulan kemudian. Ketika masih duduk di sekolah dasar, ia ditempatkan di satu kelas khusus bagi anak-anak berbakat dan mulai akrab dengan matematika, pemrograman, dan ekonomi. Dia dianggap jenius, karena mampu melakukan penjumlahan tiga digit angka di luar kepala, dua kali lebih cepat daripada teman sebayanya.

Seiring berjalannya waktu, semua berjalan lancar-lancar saja bagi Vitalik. Walaupun ia senang bergabung dengan kelompok debat ketika di SMA, tetapi komputer adalah menjadi gairah utama Vitalik.

Setelah memahami secara mendalam potensi bitcoin khususnya blockchain, Vitalik akhirnya menemukan jalan untuk mendapatkan bitcoin. Awalnya ia menulis beberapa artikel terkait TI di sebuah website dengan bayaran dalam bentuk bitcoin yang di masa itu setara US$5. Sayangnya website itu tutup, karena kurangnya jumlah pembaca. Jadi, dia pun memulai menulis di forum bitcoin tentang teknologi yang mendasarinya dan mengkaji lebih dalam tentang dampak sosial yang mungkin ditimbulkannya. Karena mengetahui banyak sekali orang yang meminati tulisannya, dia pun mengumumkan bahwa dia akan menulis artikel lebih banyak dan lebih mendalam lagi, jikalau ada yang berkenan mendonasikan bitcoin kepadanya. Dan itu terjadi.

Pada September 2011, bersama seorang programer Romania Mihai Alisie (23), Vitalik mendirikan  Bitcoin Magazine. Mereka mengklaim edisi cetak dan daring majalah itu telah mencapai tingkat keterbacaannya hingga 1,5 juta. Vitalik lebih banyak mendominasi menulis di majalah itu. Berikutnya majalah itu tetap terbit, tetapi dengan kepemilikan berbeda.

Langkah Vitalik kelihatannya tepat. Ketertarikan orang-orang terhadap bitcoin pun berkembang pesat. Vitalik melihat itu sebagai sebuah peluang besar, yang membuat ia memutuskan untuk drop out dari kuliahnya di Universitas Waterloo, Kanada. Pada saat itu pada tahun 2011 bitcoin baru seharga kurang dari US$1 dolar per BTC dan meledak menjadi US$1.000 dolar per BTC pada tahun 2013. Para pebisnis dan venture capitalist berlomba-lomba terjun ke dalam bitcoin dan memulai membuka pintu baru baru sektor keuangan global, termasuk industri perbankan.

Bertahan hidup dengan bitcoin miliknya yang sangat banyak, Vitalik mulai berkeliling dunia bertemu dengan banyak orang. Ia ingin tahu secara langsung seberapa banyak orang dapat menerima bitcoin sebagai bagian dari hidup manusia, walaupun kripto itu tidak memiliki nilai intrinsik sama sekali.

Sekali peristiwa, ketika dia tinggal bersama kelompok musik lokal di sebuah flat di Barcelona, ia mengalami sebuah peristiwa yang kelak menambah ilham bagi pengembangan Ethereum. Selama dua bulan di sana, dia memperhatikan setiap orang sangat bertanggung jawab terhadap tugas mereka untuk memasak makan malam dan siang. Tetapi seiring berjalannya waktu, kebanyakan dari mereka justru malas untuk menyelesaikan tugasnya.

“Itu yang menyadarkan saya bahwa, jikalau Anda tidak memiliki insentif ekonomi atau seperangkat aturan untuk memaksa orang untuk melakukan sesuatu yang sangat sederhana, maka pekerjaan itu tak pernah selesai,” katanya kepada Fortune.com.

Lama kelamaan Buterin pun menyadari keterbatasan bitcoin sebagai sebuah teknologi. Jumlah pengguna bitcoin yang semakin banyak tidak diikuti oleh skala jaringan yang bertambah. Bitcoin tak lagi sanggup menangani tujuh transaksi setiap detik. Bagi Vitalik, situasi ini sangat tidak ideal, jikalau bitcoin ingin lebih cepat diadopsi secara mainstream. Layanan transaksi milik VISA sendiri dapat memproses lebih dari dari seribu transaksi per detik.

Serupa dengan masalah yang dihadapi para pengembang blockchain lainnya, Vitalik mendapati bahwa sangat sulit membangun aplikasi dengan blockchain milik bitcoin. Sistemnya memang sejak awal diperuntukkan bagi keperluan transfer nilai, bukan untuk membuat software. Satoshi Nakamoto dalam white paper-nya memang menegaskan bahwa sistem yang dirancangnya seperti itu guna memperkecil peluang terjadinya penetrasi terhadap keamanan sistem. Dan memang para pengembang awal bitcoin enggan membuat perbaikan cepat untuk mengatasi masalah tersebut, hingga detik itu.

Vitalik pun mengajukan ide ini kepada rekan-rekannya sesama programer: bagaimana kalau kita membuat sebuah platform blockchain umum, di mana semua orang bisa membuat token sendiri di dalamnya? Banyak yang tidak setuju dan sebagian lagi menganggap ide itu tidak menarik.

“Saya masih ingat, ketika itu saya berpikir, ya sudah kalau mereka tidak mau saya kerjakan saja sendiri,” katanya.

Dia pun menulis secara lengkap ide-idenya dalam sebuah white paper dan mengirimkannya melalui surel kepada 15 orang rekannya sesamaa programer, yang dianggapnya dapat menerima ide itu. Akhirnya 30 orang mengajaknya berbincang lebih dalam, dengan antusiasme yang lebih banyak daripada yang pernah dia bayangkan. Banyak orang menyukai idenya. Pada awal 2014 dia dan sebuah grup pengembang mulai membangun Ethereum. Di tahun yang sama dia didaulat sebagai dewan redaksi di Ledger, sebuah jurnal ilmiah yang fokus pada riset tentang blockchain dengan kajian lintas bidang. Ledger adalah jurnal pertama di dunia yang fokus pada bidang ini. Ledger diterbitkan oleh University Library System (ULS), Universitas Pittsburgh.

Adalah Joseph Lubin yang membantu Vitalik dan kawan-kawan membangun Ethereum. Lubin juga yang memasok jutaan dolar untuk pengembangannya melalui sebuah yayasan. Salah satu metode yang dilakukan Lubin adalah melalui sistem crowdfunding ICO (Initial Coin Offering) pada 22 Juli 2014-2 September 2014. Dalam proses ICO perusahaan atau organisasi membuat sebuah token yang dijual kepada para investor dengan harga murah. Di masa itu token Ethereum dijual di harga US$0,3 dolar dalam bentuk bitcoin per token. Tak perlu menunggu lama, terkumpullah 31 ribu bitcoin atau di tahun itu setara dengan US$12,4 juta dengan harga 1 bitcoin rata-rata US$400. Pada awal tahun 2016 Lubin mendirikan perusahaan ConsenSys yang fokus pada pada Ethereum.

Vitalik memandang Ethereum bukan sekadar blockchain tradisional seperti bitcoin. Dengan sistem mereka memungkinkan penerapan blockchain pada skala yang lebih luas, mulai dari keuangan, energi hingga kesehatan.

Ethereum kini telah diujicobakan pada sistem pembayaran otomatis royalti musik, layanan rekam identitas, dan token dagang bagi energi matahari pada blockchain. Maka, tak heran dalam waktu yang tidak lama kehandalan Ethereum rancangan Vitalik juga digunakan oleh perusahaan rintisan Augur untuk membuat platform untuk memprediksi pasar. Bahkan Santandar Bank menggandeng perusahaan Ether.camp untuk membuat bentuk baru uang digital.

Kekuatan Ethereum terletak pada kemampuannya dalam mengotomatiskan relationships encoded yang rumit. Proses itu selanjutnya disebut smart contract. Fungsi kontrak dalam konteks ini adalah program yang melingkupi logika-logika yang berlaku dalam bidang bisnis; seperangkat aturan-aturan tentang bagaimana uang ditransfer, transfer ekuitas, dan beragam jenis binding obligations. Kesemuanya itu diasaskan kepada kondisi-kondisi yang predetermined. Ethereum juga memiliki bahasa pemrograman yang built-in, yakni Solidity yang mempermudah orang lain untuk membuat aplikasi lain di dalamnya.

Manajer Proyek Ethereum Vinay Gupta mengatakan fitur-fitur itulah yang membuat ia lebih hebat daripada bitcoin. “Kripto sendiri tidak memungkinkan Anda untuk membuat sebuah struktur sosial yang baru. Anda perlu menambahkan smart-contract,” katanya. [dari beragam sumber/vins]

 

Be the first to write a comment.

Your feedback