Ini Penyebab Harga Bitcoin (BTC) dan Kripto Lain Melorot Hari Ini

Melorotnya harga Bitcoin hingga US$42.500, dan kripto lain hari ini berhulu dari perkembangan makro ekonomi di Amerika Serikat, salah satunya adalah kepastian rencana The Fed untuk mempercepat menaikkan suku bunga acuan, berdasarkan risalah hasil rapat bank sentral itu pada Desember 2021. Apa selanjutnya?

Secara prinsip, Bitcoin (BTC) saat ini kian masuk ranah mainstream dan berskala besar. Pangkalnya dimulai ketika Chicago Mercantile Exchange (CME) menjual produk Bitcoin Berjangka pada Desember 2017. CME adalah pasar komoditas terbesar di dunia. Kemudian di tahun 2020, Tesla dan perusahaan publik ternama lain melakukan akumulasi kripto besar itu. Lalu pada tahun 2021, kali pertama masuklah ETF bernilai Bitcoin Berjangka di bursa saham Nasdaq dan New York Stock Exchange.

Dinamika ini adalah cerminan betapa bernilainya kela aset baru ini, meminjam pola pada aset emas pada tahun 1970 (masuk ke pasar berjangka) dan tahun 2003 masuk ke pasar modal lewat ETF. Patut dicatat, bahwa pasar ETF AS adalah pasar ETF terbesar di dunia.

Oleh sebab itu, analisis fundamental perlu memasukkan komponen makro ekonomi. Salah satu unsur di ekonomi seperti itu adalah dengan memonitor kebijakan umum dari Bank Sentral AS alias The Fed, khususnya soal kebijakan moneter.

Harga Bitcoin merosot cepat hingga US$42.500 pada Kamis, 6 Januari 2022.

Mari kita bandingkan ketika pada awal pandemi 2020 lalu. Kala itu roda ekonomi mandek, karena pabrik dan industri berhenti bergerak, pekerja menganggur dan tinggal di rumah saja. The Fed kala itu memutuskan menambah pasokan dolar ke pasar agar pasar terus hidup.

Caranya adalah dengan menurunkan suku bunga acuan dan pemerintah menerbitkan stimulus kepada warganya. Cara ini menjadikan biaya meminjam uang ke bank menjadi sangat murah dan mendorong orang untuk berbelanja, termasuk berinvestasi ke pasar modal (saham), termasuk kripto.

Namun, dampaknya tak terduga, jumlah kasus COVID-19 tidak juga berkurang cepat, tingkat pengangguran juga meningkat dan ujungnya adalah inflasi luar biasa sejak tahun 1986, yakni mencapai lebih dari 6 persen di AS.

Inflasi inilah menjadi titik tolak The Fed untuk mengambil kebijakan cepat, agar ekonomi tidak terjebak dalam krisis yang lebih buruk. Ini diselaraskan pula dengan percepatan vaksinasi dan mulai turunnya tingkat pengangguran, sebagai indikator awal, membaiknya ekonomi AS.

Kebijakan Makro Ekonomi Kian Lemahkan Bitcoin?

Yang dilakukan The Fed saat ini dan yang akan datang bisa berdampak serius kepada saham, termasuk pasar kripto secara umum dan tentu saja Bitcoin. Perihal pelemahan Bitcoin telah kami kaji di artikel ini, termasuk untuk pasar kripto ini.

Berikut sejumlah risalah mengapa pasar kripto dan Bitcoin akan terus meluruh pada tahun 2022 ini dalam kaitan dengan kebijakan bank sentral, moneter dan makro ekonomi.

Pertama, harga Bitcoin semakin berkorelasi dengan harga saham sepanjang tahun 2021, mencapai beberapa level tertinggi pada Desember 2021. Menurut data dari Bloomberg, pada 3 Desember 2021, koefisien korelasi 100 hari antara Bitcoin dan S&P 500 adalah 0,33, di mana 1 berarti mereka selalu bergerak bersama dan -1 berarti mereka benar-benar berbeda. Nilai 0,33 memang terbilang kecil, tetapi relatif bergerak bersamaan, walaupun tidak selalu, sehingga patut dijadikan patokan analisis.

Dengan kata lain, untuk memantau tren pasar kripto, perlu kita pantau juga pasar modal yang basis analisisnya berpangkal dari kebijakan ekonomi makro di AS, sebagai pasar modal terbesar di dunia. The Fed punya faktor besar dala kebijakan ekonomi seperti itu.

Kedua, perihal tapering, yang telah kami singgung sebelumnya di artikel ini adalah upaya lain untuk menekan inflasi di AS. Tapering adalah mengurangi secara cepat dan bertahap nilai pembelian aset oleh The Fed. Aset ini berupa obligasi pemerintah dan sejumlah obligasi perusahaan.

Tapering ini tentu saja mengurangi belanja bank sentral itu, termasuk sebagian besar belanja pemerintah (mengurangi penerbitan obligasi dan imbal hasilnya lebih tinggi).

Ketiga, tapering akan secara otomatis mendorong The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan dan menyusul bank-bank komersial akan menaikkan biaya kredit (pinjam modal), baik kepada individu dan perusahaan. Kebijakan Tapering dan menaikkan suku bunga acuan akan mengurangi jumlah dolar di pasar, mengurangi tingkat likuiditas dolar dan pada akhirnya menekan inflasi.

Keempat, lazimya kebijakan bank sentral akan dapat dirasakan dampaknya, paling cepat selama 1 tahun. Dalam proses itu, secara bertahap laju belanja oleh konsumen juga akan berkurang, karena memutuskan lebih berhemat, karena tingkat likuiditas berkurang.

Kelima, ini akan membentuk penguatan nilai indeks dolar terhadap mata uang besar, seperti euro, yen dan lain sebagainya.

Keenam, bagi pemerintah AS, penguatan dolar dan segala kebijakan moneter The Fed akan mengurangi biaya impor barang dari luar negeri yang bisa meredam harga barang dan jasa di dalam negeri. Di sini, problem inflasi hampir pasti terselesaikan.

Ketujuh, skenario terburuk dari penarikan pasokan dolar ini, demi meredam inflasi tinggi, akan disusul gejolak bearish di pasar saham, termasuk perdagangan aset berisiko tinggi seperti di kripto. Di sisi korporasi, karena biaya modal semakin tinggi justru bisa mengurangi pasokan produk ke konsumen, walaupun agak terbantu dengan biaya impor yang rendah.

Skenario ini pernah terjadi sebelumnya di krisis keuangan di AS pada tahun 1985, menaikkan suku bunga acuan memang menyelamatkan inflasi yang tinggi, tetapi dampak susulan jangka panjangnya adalah justru menekan nilai tukar dolar AS hingga saat ini. Bayangkan saja, sejak tahun itu indeks dolar AS luruh hingga 25 persen.

TradingView Chart
Menurunnya nilai dolar sejak tahun 1985.

Walaupun sempat melonjak lagi pada tahun 2001 dan 2016, sejatinya tren nilai dolar sangatlah terpuruk, sehingga tak menarik lagi sebagai safe haven dan cadangan aset bagi bank sentral negara lain.

Kedelapan, penguatan dolar saat ini sangatlah nyata, setidaknya dari segi teknikal di time frame mingguan. Berdasarkan indikator Moving Average (MA) 50 dan MA 200, MA 50 cenderung akan menembus ke atas MA200 yang menandakan dolar akan semakin menguat. Gerakan seperti ini terjadi sebelumnya antara 6 Mei 2019 hingga 23 Maret 2020.

TradingView Chart
Potensi Golden Cross pada dolar AS pada time frame mingguan. Penguatan lebih besar diperkiran akan terjadi setidaknya pada medio Mei 2022.

Saat ini nilai indeks dolar berada di kisaran 96, tertinggi sejak 4 Januari 2021 (89) dengan resisten berada di kisaran 102 (30 Maret 2020).

Kesimpulan

Menurunnya nilai dolar dalam jangka panjang tidak terbantahkan. Itulah salah satu penyebab Bitcoin dirancang oleh Satoshi Nakamoto pada tahun 2008, sebagai respons terhadap krisis keuangan. Krisis itu sendiri salah satunya disebabkan oleh lalainya The Fed melihat masalah kredit macet di sektor perumahan dan berdampak buruk ke pasar modal.

Bagi kami, raja uang dolar AS akan mengalami penurunan lebih lanjut, menyusul pelemahan ekonomi di dalam negeri AS dan akan mendorong pembelian kripto termasuk Bitcoin. Kita hanya perlu menantinya. [triv]

Comments are closed for this post.