Kripto Menanti Aturan Pasti

Krisis super parah yang dialami Venezuela, membuat sang Presiden Nicholas Maduro mengambil langkah cepat dan terkesan sepihak: membuat kripto Petro pada tahun lalu. Pada medio Agustus 2018 Ia pun memerintahkan Petro dijadikan sebagai uang alternatif, selain uang fiat sovereign bolivar (SB), uang baru menggantikan venezuelan bolivar (VB).

Harga SB dipatok berdasarkan Petro dan harga Petro dipatok berdasarkan harga satu barel minyak mentah. Walaupun hingga detik ini transaksi Petro masih samar, langkah kripto Maduro menjadi simpul sejarah baru keuangan dunia. Karena Venezuela adalah negara pertama di dunia yang punya kripto. Nicholas mengklaim ada puluhan negara yang membeli Petro pada tahap presale.

Beberapa negara lain yang dilanda isu serupa mencoba meniru langkah Maduro, seperti Iran, Turki dan lain-lain. Bagi negara itu, membuat kripto adalah upaya ampuh melawan sanksi ekonomi oleh AS. Lihat Turki dan lira-nya yang ambruk.

Di Indonesia sendiri kita masih berdiri di bawah bayang-bayang dinamika kripto negara lain, walaupun Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) bilang bitcoin cs layak diperdagangkan sebagai komoditi. Bahkan karena itu pula perusahaan bursa kripto di tanah air kian bermunculan, baik yang asli buatan Indonesia atau sekadar membuka cabang dengan markasnya dari luar negeri.

Hingga detik ini Bank Indonesia masih bersikukuh dengan sikapnya: bitcoin dan kripto lainnya dilarang digunakan sebagai alat pembayaran yang sah. Pernyataan itu dapat dimaklumi, karena itu menyangkut peraturan yang mengikat lembaga negara itu. Tetapi mengingat laju transaksi kripto ada di ranah dunia maya dan tidak ada sangkut pautnya secara langsung dengan Bank Indonesia, tak sedikit manusia yang bersedia menerima imbalan kripto atas jasa yang dijualnya.

Tidak sukar bagi Bank Indonesia melihat transaksi kripto Ether antara antara seseorang yang mengaku Bapak Beye dan Bunda Mega. Mereka menjalin transaksi atas penjualan sayur mayur dengan wallet di ponsel cerdasnya masing-masing. Tetapi Bank Indonesia tidak bisa menyentuh dan membatalkan transaksi itu, selayaknya tak bisa membatalkan pengiriman pesan melalui surat elektronik.

Intervensi yang mugkin bisa dilakukan oleh negara hanya ketika proses penukaran ether dengan rupiah, yang mungkin dilakukan di bursa kripto di Indonesia. Bank Indonesia bisa melacak address ether Bapak Beye dari bursa kripto berikut besaran jumlahnya. Jikalau transaksi di atas 100 juta misalnya, layak jadi sorotan, sepanjang sang empunya bursa kripto memegang data pengguna. Alasannya bisa saja soal indikasi pencucian uang dan argumen kuat lainnya.

Serupa dengan banyak negara lain, praktis tak ada regulasi khusus soal kripto. Yang ada hanya imbauan termasuk larangan demi larangan, meski teknologi blockchain yang belakangan dinyatakan BI adalah “sakti” mengubah sistem keuangan dan perbankan, tetapi menyisihkan kripto ke tepi piring sajian, sebagai sistem imbalan dalam blockchain, agak sulit dilakukan. Bagaimana caranya Anda berada di dunia blockchain tanpa menyentuh kripto yang merupakan bagian integral di dalamnya. Beda cerita kalau misalnya bicara Hyperledger ala IBM yang katanya tak perlu kripto/token agar dapat menjalankan blockchain.

Tentang aspek regulasi, pernyataan Mantan Menteri Keuangan Indonesia Chatib Basri layak disoroti. Basri menyarankan pihak Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuat regulatory sandbox (RS) sebagai aturan ad-hoc alias sementara untuk mengakomodir perkembangan teknologi blockchain dan kripto di tanah air. RS sendiri sudah dipraktikkan untuk industri fintech di tanah air. Pasanya, teknologi blockchain bukan semata persoalan transfer uang, tetapi transfer nilai berupa database transaksi antar satu pihak dengan pihak lain.

Dalam kapabilitas blockchain seperti itu, pengamanan data izajah mahasiswa dalam format digital dapat lebih baik dan lebih cepat diperiksa keabsahannya. Dengan langkah serupa, kelak tak perlu “stempel basah” untuk keperluan legalisir yang terkadang memakan waktu dan jarak.

Kita mungkin terlalu jauh di belakang berbanding Jepang yang menyamakan status kripto dengan mata uang fiat termasuk yen. Tetapi setidaknya regulasi yang tepat dan agak longgar perlu segera ada, sebagaimana yang dipraktikkan oleh Singapura dan beberapa negara di Eropa, khususnya menjadikannya lentera dan panduan terhadap praktik-praktik kotor ICO yang kian marak di Tanah Air. Pasalnya membuat token/kripto di blockchain itu sangat mudah. Kode sumbernya melimpah. Tak sampai 30 menit untuk membuat kripto baru. Permasalahannya adalah produk seperti apa yang ditawarkan ketika pengguna menggunakan kripto itu dalam transaksi. Yang terjadi di lapangan adalah lebih banyak kripto-kripto sampah.

Dengan adanya regulasi, ekosistem kripto Indonesia akan lebih sehat, sebelum semakin parah. Belum lagi menyoal beberapa proyek ICO dari negeri seberang yang menjual token mereka di tanah air. Idealnya regulasi itu turut memonitor rancangan whitepaper sebuah proyek ICO sebelum dipublikasikan. Termasuk juga mempertimbangkan apakah proyek ICO sudah harus memiliki produk sebelumnya atau boleh “melenggang kangkung” dengan hanya bermodal whitepaper.

Jadi, pemerintah jangan hanya memikirkan soal penghasilan pajak yang bisa diperoleh dari transaksi kripto di beragam bursa di tanah air yang kian marak, tetapi membangun struktur dan ekosistem melalui regulasi yang baik dan mengakomodir pegiat di Indonesia.

Seperti biasa pemerintah mungkin kalah cepat membuat regulasi berbanding dengan adopsi, praktik dan tafsiran oleh pegiat blockchain di tanah air. Wait and see itu sangat mudah dilakukan, tetapi jika terlampau lama di dalamnya, kita lupa bahwa riaknya sudah berada di bawah air, lalu tenggelam. Hingga satu hari kita menyadari peluang hebat luput di depan mata. Kami tunggu, tetapi nggak pake lama. [vins]

 

 

Be the first to write a comment.

Your feedback