Bitcoin Rp851 Juta: Energi Menjadi Aset

Harga Bitcoin yang mencapai Rp851 juta pada dini hari Senin, 22 Februari 2021 adalah pembuktian konkret pengubahan energi menjadi aset. Dalam hal ini energi listrik diubah menjadi aset bernilai tak berwujud, berbentuk digital. Sejauh mana peradaban kita memahami itu?

Satoshi Nakamoto menyebut Bitcoin sebagai sistem uang elektronik peer-to-peer. Dia tak menyebutnya sebagai sebuah aset, tetapi bentuk uang baru yang tidak diterbitkan oleh negara, tetapi dikendalikan di luar kekuasaan struktural yang memerlukan pemerintahan dan relasinya dengan politik.

Negara dan pemerintah yang menyebutnya sebagai sebuah aset saja, tanpa bisa ditransaksikan sebagai uang dalam pembelian dan barang dan jasa. Soal penggolongan itu sah-sah saja, karena ada negara lain tetap mengakuinya bisa sebagai alat pembayaran di luar yang biasa.

Satoshi memilih konsep pengubahan energi listrik menjadi entitas bernilai yang berbentuk elektronis dan berkat kode programnya, menjadi bentuk digital, dipancarluaskan dalam jaringan peer-to-peer di atas jaringan Internet.

Sesungguhnya itu adalah perpaduan teknologi lampau, tetapi berhasil dipadukan oleh Satoshi dan amat tepat momennya: krisis ekonomi 2008 dan kini krisis 2020.

Satoshi paham benar bahwa energi listrik yang salah satu pangkal geraknya adalah minyak, adalah sebentuk sumber daya alam yang langka dan tidak dapat diperbarui.

Masalahnya, minyak dan mesin pembangkit energi listrik tidak dapat disebut sebagai aset yang secara langsung bisa dinikmati publik yang bernilai lebih tinggi daripada ongkos produksinya.

Satoshi di awal pun sejatinya bereksperimen, bahwa bagaimana jika komputasi kompleks disematkan dalam seperangkat kode digital yang mentransfer banyak data, yakni bit.

Tetapi proses transfer data dibuat tidak mudah, karena untuk memecahkan kode kompleks itu harus diperlukan spesifikasi perangkat keras komputer yang tinggi.

Komputer itu harus “haus energi” sebagai bentuk “ongkos produksi” oleh yang kita kenal sebagai “miner” alias penambang.

Penambang harus rela “mengorbankan” segala biaya dan tenaga mereka untuk melakukan itu, demi memecahkan komputasi kompleks dalam proses transfer data digital itu.

Dan sebagaimana bentuk uang elektronik lainnya, data digital itu bernilai karena ada sistem yang menjaminnya terus bernilai. Dan ketika semakin banyak orang yang memahami sistemnya secara holistik, maka terbentuklah satu konsensus.

Dari sanalah muncul permintaan dan penawaran, bahwa orang rela menukar objek bernilai mereka, yakni fiat money menjadi bentuk data digital, Bitcoin.

Di satu sisi, Bitcoin sebagai sebuah sistem, sama halnya dengan sistem fiat money yang diterbitkan oleh negara.

Pertama, sistem itu memiliki seperangkat aturan, pengaturan dan peraturan. Jika fiat money peraturannya adalah dalam bentuk undang-undang dan konstitusi, maka peraturan dalam Bitcoin adalah kode programnya dan algoritma, serta protokol ketika sistem itu dijalankan.

Kedua, fiat money dijamin oleh bank sentral untuk menentukan nilainya. Jumlah uang beredar disesuaikan dengan jumlah barang dan jasa di masyarakat. Jumlahnya harus seimbang, demi menghindari inflasi buruk dan deflasi yang mengerikan.

Sedangkan di Bitcoin jumlah unitnya dijamin, sekali lagi, oleh kode programnya, berikut para lead developer-nya, termasuk para penambangnya, yang sepakat dengan kode-kode itu agar sistem terus berjalan.

Mereka sepakat, karena sistem itu unik dan memberikan kebebasan daripada sekadar menggantungkan diri dari sistem fiat money yang sarat dengan kekuasaan.

Pun mereka dan kita meyakini sistem itu utuh dan kuat, sehingga jumlah maksimal unit Bitcoin selalu terjaga seperti pada kode yang dituliskan: laju produksi Bitcoin rata-rata setiap 10 menit, tetap peer-to-peer, Halving per 210.000 block, dan mekanisme penyesuaian tingkat kesulitan penambangan setiap 2 minggu.

Jika percaya terhadap fiat money, maka Anda percaya terhadap pihak dan sistem yang menerbitkan dan mengendalikan sistem itu, yakni negara, bank sentral, pemerintah dan sejumlah alat-alatnya.

Bahwa, nilainya tergerus dalam kurun waktu tertentu dan uang yang Anda miliki tidak berdaya dengan harga dan barang dan jasa, itulah cerminan tingkat kepercayaan Anda, cerminan mengikuti sebuah konsensus.

Ketiga, meyakini sebuah sistem fiat money, membentuk arus keyakinan lain terhadap God’s Money, yakni emas.

Banyak pihak menilainya baik sebagai store-of-value, karena ia langka, mudah dibawa, tidak berkarat, mudah dibagi dan dibentuk.

Namun, soal kelangkaan itu adalah premis yang tidak masuk akal dalam kekinian kita. Bahwa ada mineral jauh lebih langka dan unggul daripada emas, yakni platina, justru tak masuk logam mulia sebagai store-of-value.

Bagaimana kita meyakini secara pasti bahwa emas itu langka, karena ketidakmampuan kita melihat cadangan emas di dalam perut bumi?

Bagaimana kita meyakini secara pasti bahwa emas itu langka, ketika harga emas sudah dianggap tinggi, tetapi di bulan depan ada peti mumi ditemukan berisi emas bernilai triliunan rupiah?

Keyakinan terhadap nilai emas demi melawan inflasi fiat money sejatinya berubah, karena Bitcoin yang prinsip kelangkaannya lebih mudah diverifikasi, dilihat dan diuji. Itu bisa terjadi, karena kode sumber programnya tidak tertutup. Semua orang bisa melihatnya dan pasti. Exact!

Perubahan pola pikir itu sebenarnya sudah dimulai sebelum Desember 2017, ketika harga Bitcoin melampaui harga emas untuk kali pertama sepanjang sejarah.

Dan itu terbukti kembali sepanjang tahun 2020. Di kala pandemi yang pada hakikatnya ekonomi ambruk, emas hanya diapresiasi 28 persen, sedangkan Bitcoin lebih dari 300 persen.

Artinya, arus masuk uang ke Bitcoin adalah hasil penjualan aset emas. Ini perubahan radikal dan mencengangkan dalam peradaban manusia modern.

Ini penting, karena tidak ada model ekonomi ilmiah yang bisa menjelaskan ini, setidaknya sebelum Bitcoin ada.

Jikalaupun ada, misalnya lewat Mazhab Austrian, itu sekadar sebuah pendekatan terhadap aset yang belum ada, alias imajiner, hingga Bitcoin dilahirkan.

Ya, bagi kami Bitcoin, dan ini kami sampaikan di sini berulang kali, bahwa Bitcoin adalah “game changer” dalam struktur sosial dan ekonomi kita dan kelak menjadi topik hangat di ranah politik dan hubungan internasional.

Maka, sebentuk energi energi yang pangkalnya langka, minyak dan diubahsuai menjadi bentuk digital bernilai melalui sistem komputasi, dibuktikan untuk kali pertama oleh Bitcoin.

Bahwa hari ini kita menikmati angka cantik Rp800 juta, itu hanyalah efek samping dari yang disebut Satoshi sebagai sebuah eksprimen teknologi dan mungkin lebih, yakni eksperimen sosial. [/]

Comments are closed for this post.